Banner Niagahoster

Talak di Ujung Jalan: Malapetaka Seleb Tiktok

Ilustrasi.

INISIATIF.CO – Bulan lalu, Arjun (25) melangkah ke pengadilan agama dengan hati berdebar, mempersiapkan diri untuk memberikan talak kepada mantan istrinya, Maimunah (21).

Munah, perempuan yang pernah ia cintai, kini tampak seperti bayangan asing.

Menjadi artis selebgram Tiktok, membuat ia jumawa dan selalu ingin terlihat lebih. Mendapat cuan di Tiktok dianggap lebih tinggi dibandingkan penghasilan suaminya sebagai karyawan swasta.

Meski demikian, Arjun mencoba memenuhi nafkah istrinya. Sebuah angka yang terkesan sepele, tetapi menjadi petaka dalam rumah tangganya.

“Tujuh juta tidak cukup,” kata Arjun dengan nada penuh penekanan, seolah angka itu adalah ukuran cinta baginya.

“Standar wanita masa kini adalah lima belas juta per bulan,” ujar Maimunah dengan percaya diri, sebuah standar yang diambilnya dari sebuah video TikTok yang ditontonnya.

Arjun terdiam. Angka itu menggema dalam pikirannya, menciptakan jurang antara dia dan istrinya. Uang nafkah yang ia berikan, tujuh juta, sudah lebih dari cukup jika dilihat dari konteks hidup mereka. Belum ada anak yang harus mereka rawat, dan kebutuhan rumah tangga sudah ia atur dengan baik. Sebagian dari uang itu ia alokasikan untuk orang tuanya, tiga juta per bulan, dan enam juta untuk biaya sekolah adik Munah yang sedang kuliah.

Di rumah, Arjun juga sudah menyediakan asisten rumah tangga untuk membantu pekerjaan domestik. Namun, semua itu seolah tidak berarti di mata Munah.

Sore itu, suasana di rumah terasa tegang. Arjun baru pulang kerja, lelah setelah seharian berjuang di kantor. Harapannya untuk menikmati makan malam yang hangat sirna ketika Maimunah menyambutnya dengan wajah masam.

“Kamu tahu, aku sudah bekerja seharian. Hanya ingin minta tolong ambilkan makan,” ucap Arjun berharap bisa meredakan ketegangan. Namun, jawaban yang ia terima justru menyakitkan.

“Jadi kamu mau aku jadi pelayanmu? Dasar patriarki!” kata Munah dengan suara meninggi.

Kata-kata itu seperti pisau, mengiris hati Arjun. Ia merasa terperangkap dalam pertempuran yang tidak pernah dinginkan. Apa yang salah dengan meminta sedikit bantuan di rumah? Ia tidak menginginkan banyak, hanya sekedar pengertian.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap interaksi pasangan suami istri ini semakin memburuk. Arjun merasa terasing dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Munah seolah menganggap Arjun adalah Mokondo, sebutan yang dia berikan kepada suaminya—seorang suami yang tidak mampu memenuhi ekspektasi.

Arjun lantas berusaha menjelaskan pos-pos anggaran yang sudah ia buat, tetapi semua usaha itu sia-sia. Di matanya, tetap tidak cukup.

Akhirnya, keputusan untuk bercerai menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Saat sidang pertama dijadwalkan pada tanggal 3 Desember, perasaan campur aduk menyelimuti Arjun. Di satu sisi, dia merasa lega bisa menutup lembaran pahit ini. Di sisi lain, ada rasa kehilangan yang menyakitkan. Hatinya berbicara, “Apakah ini semua benar-benar harus berakhir?” kata Arjun senyap.

Hari sidang tiba. Pengadilan agama terlihat sepi, hanya beberapa orang yang menunggu giliran. Arjun duduk di bangku kayu, merasakan dinginnya udara dengan ketegangan yang menyelimuti. Ketika Maimunah muncul, mereka bertukar pandang. Di dalam tatapan itu, dia melihat campuran kemarahan dan kesedihan. Dia mengenakan baju berwarna cerah, seolah berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Namun, di dalam hati kami, ada luka yang dalam.

Sidang dimulai. Suara hakim menggema di ruang sidang yang hening. “Apa alasan perceraian ini?” tanyanya. Arjun mengambil napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata. “Kami tidak lagi sejalan, Yang Mulia. Kami memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan dan tanggung jawab.” Munah mengangguk, tetapi Arjun bisa melihat air mata di sudut matanya. Ia ingin meraihnya, meskipun ia tahu itu tidak mungkin.

Hari itu menjadi titik balik dalam hidup Arjun. Setelah sidang, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kehidupan yang telah di bangun bersama telah runtuh.

Tidak ada lagi rencana untuk masa depan, tidak ada lagi impian untuk dibagi. Semua yang tersisa hanyalah kenangan yang pahit dan harapan yang hancur.

Arjun kembali ke rumah kecil itu, dan merasakan kesepian yang mendalam. Dinding-dinding yang pernah menyimpan tawa kini hanya menyisakan kesedihan.

Dia merenung, apakah semua ini karena angka? Apakah cinta bisa diukur dengan uang? Dia teringat saat-saat indah ketika masih saling mengerti. Namun, semua itu lenyap seiring dengan semakin tingginya ekspektasi yang tidak bisa ia penuhi.

Waktu berlalu, dan ia belajar untuk menerima kenyataan. Proses perceraian memang menyakitkan, tetapi ia menyadari bahwa perlu melanjutkan hidup. Arjun mulai menjalani hari-hari dengan lebih berarti, mencoba menemukan kebahagiaan di tempat lain. Meski Maimunah dan dirinya sudah berpisah, pelajaran dari pengalaman ini tetap tersimpan di dalam hati.[]

Editor : Ikbal Fanika
Tutup