MaTA Tantang Aparat Penegak Hukum Ungkap Kasus Korupsi Besar di Aceh
INISIATIF.CO, Banda Aceh – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengungkapkan bahwa kasus korupsi masih marak terjadi di Aceh, mencakup berbagai tingkat pemerintahan, mulai dari provinsi hingga desa (gampong).
Sektor dana desa menjadi yang paling dominan, dengan 16 dari 31 perkara korupsi yang ditangani oleh aparat penegak hukum (APH) pada tahun 2024.

MaTA meminta APH untuk berani mengungkapkan kasus-kasus korupsi besar, tidak hanya fokus pada penyimpangan anggaran pada level desa.
Koordinator MaTA, Alfian, menjelaskan bahwa berdasarkan data yang mereka himpun, pada tahun 2023, APH menangani 32 kasus korupsi dengan total kerugian negara mencapai lebih dari Rp171 miliar.
Untuk tahun 2024, sebanyak 31 kasus telah ditangani, melibatkan 64 tersangka dan kerugian negara senilai Rp56,8 miliar. Dari 31 kasus tersebut, 16 berkaitan dengan dana desa, diikuti oleh sektor keagamaan, kesehatan, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan, masing-masing dengan dua kasus. Selain itu, sektor pengairan, penerangan, pertanian, pertanahan, perikanan, pasar modal, dan pajak masing-masing memiliki satu kasus.
“Dari 64 tersangka, 62 adalah laki-laki dan dua perempuan, dengan pelaku terbanyak berasal dari aparatur sipil negara (ASN) sebanyak 29 orang, diikuti oleh pemerintah desa (22), swasta (12), dan satu anggota DPRK,” ujar Alfian dalam konferensi pers dengan wartawan di Banda Aceh, Rabu (8/01/2025).
Menurut Alfian, modus korupsi yang paling banyak terjadi adalah penyalahgunaan anggaran, diikuti oleh penggelapan, laporan/kegiatan fiktif, penyalahgunaan wewenang, mark-up, suap-menyuap, dan penyunatan/pemotongan.
Berdasarkan analisis modus korupsi, Alfian mencatat bahwa penyalahgunaan anggaran mendominasi di level pemerintahan gampong. Sedangkan dari segi lembaga yang terlibat, tahun 2024 menunjukkan bahwa APH lebih banyak menangani kasus di tingkat gampong (51,61 persen), berbeda dengan tahun 2023 yang lebih banyak di tingkat kabupaten/kota.
“Perubahan ini menunjukkan bahwa APH tampaknya menghindari risiko lebih tinggi dalam penanganan kasus,” ungkap Alfian.
Selama tahun 2024, kejaksaan menangani 18 kasus korupsi, sementara kepolisian menangani 13 kasus. Dari total 31 kasus korupsi yang terungkap tahun 2024, dana desa (APBG) mendominasi dengan 16 kasus, diikuti oleh APBK (11 kasus), APBA (tiga kasus), dan APBN (satu kasus).
Putusan Pengadilan yang Belum Memuaskan
MaTA juga menyoroti putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh pada tahun 2024, di mana sebanyak 40 kasus korupsi ditangani dengan total 78 putusan dan 82 terdakwa. Dari 82 terdakwa, 57 orang divonis ringan (1-4 tahun), 12 orang vonis sedang (4,1-10 tahun), satu orang divonis berat (10 tahun ke atas), dan 10 orang dijatuhi vonis bebas. Terdapat pula empat kasus yang diputus bebas oleh PN Tipikor Banda Aceh dan lima di tingkat banding.
Alfian mengungkapkan bahwa sejak tahun 2020 hingga 2024, terdapat 26 vonis bebas atas perkara korupsi di Aceh. Permohonan kasasi yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) mencapai 69,24 persen, sedangkan 19,23 persen ditolak, dan 11,53 persen masih dalam proses.
“Putusan pengadilan dalam penanganan kasus korupsi di Aceh masih jauh dari harapan. Belum memberikan efek jera dan belum berpihak pada upaya pemberantasan korupsi,” tegas Alfian.
Rekomendasi MaTA
MaTA merekomendasikan agar kepolisian dan kejaksaan di Aceh lebih proaktif dalam menyelidiki dugaan kasus korupsi “kelas berat”, seperti pembangunan RS Regional dan pengelolaan dana Pokir DPRA. Selain itu, MaTA mengingatkan pentingnya pengungkapan kasus korupsi tidak hanya berhenti pada pelaku operasional, tetapi juga menjangkau pelaku utama.

MaTA menekankan perlunya penyidik dan JPU untuk lebih teliti dalam memenuhi bukti yang kuat dan lengkap, serta menghindari celah hukum bagi terdakwa.
“Kejaksaan harus lebih cermat dalam menyusun dakwaan agar tidak ada celah bagi terdakwa untuk lolos dari hukuman,” tambah Alfian.
Alfian juga meminta Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor Banda Aceh untuk lebih profesional dan berintegritas, karena banyaknya vonis bebas yang dibatalkan oleh MA menunjukkan rendahnya integritas hakim.
MaTA menyerukan agar Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh mendorong pengawasan terhadap penggunaan dana desa dan melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan.
“Masyarakat Aceh harus berani dan aktif dalam mengawasi serta melaporkan dugaan tindak pidana korupsi, karena uang yang dikorupsi berasal dari pajak masyarakat,” tegas Alfian.
Dengan kajian Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2024, MaTA berharap dapat memetakan kasus korupsi yang ditangani oleh APH dan mendorong transparansi serta akuntabilitas dalam penanganan kasus korupsi di Aceh.[]