Webinar UIN Ar-Raniry: Prof Siti Zuhro Sebut Demokrasi Indonesia Perlu Etika, Bukan Transaksi Kekuasaan
INISIATIF.CO, Banda Aceh — Demokrasi di Indonesia dinilai masih bersifat prosedural dan belum menyentuh nilai-nilai substansial. Hal itu disampaikan Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA, Peneliti Utama Politik BRIN, saat menjadi narasumber dalam Webinar Kajian Islam Seri Keenam yang digelar oleh Program Studi S3 Studi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Kamis (24/7/2025).
Dalam diskusi bertema “Demokrasi, Agama, dan Politik di Indonesia”, Siti Zuhro menekankan pentingnya mendorong demokrasi yang bermoral dan beretika, bukan sekadar transaksional.
“Demokrasi kita masih jauh dari harapan. Yang dibutuhkan bukan demokrasi transaksional, tetapi demokrasi yang bermoral dan beretika,” tegas Siti Zuhro dalam paparannya yang disiarkan secara daring melalui kanal YouTube.
Menurut Siti, perjalanan demokrasi Indonesia dari era parlementer, demokrasi terpimpin, hingga pascareformasi merupakan proses politik panjang yang penuh dinamika. Namun, ia menyoroti bahwa cita-cita reformasi 1998, seperti pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, belum sepenuhnya tercapai.
“Gerakan reformasi ingin menutup praktik Orde Baru dan korupsi. Tapi kenyataannya, praktik buruk itu masih terus berulang dengan wajah baru,” ujarnya.
Siti juga mengutip data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terbaru yang menunjukkan bahwa Indonesia hanya meraih skor 6,71, masuk dalam kategori flawed democracy (demokrasi cacat) dan berada di peringkat ke-52 dari 165 negara.
“Penurunan ini utamanya terjadi pada aspek fungsi pemerintahan serta proses pemilihan dan pluralisme,” ungkapnya.
Ia menyebut, lemahnya konsolidasi demokrasi tidak lepas dari peran elite politik yang justru memperburuk kualitas demokrasi. Partisipasi publik, kata Siti, sering kali hanya bersifat semu dan digerakkan untuk kepentingan elektoral melalui pendekatan transaksional.
Lebih lanjut, Siti menyoroti bagaimana agama dan politik memiliki hubungan erat di Indonesia. Ia mencontohkan Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 sebagai bukti bahwa sentimen keagamaan turut memengaruhi pilihan politik masyarakat.
“Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara berdasarkan Pancasila dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Siti menekankan bahwa demokrasi Pancasila harus dibangun tidak hanya di atas hukum positif, tetapi juga di atas landasan moral dan nilai-nilai etik, seperti musyawarah (syura), keadilan (‘adalah), dan amanah, yang juga merupakan prinsip dalam ajaran Islam.
“Bagi Indonesia, demokrasi sejalan dengan ajaran Islam. Ini harusnya menjadi dasar untuk menghadirkan politik yang beradab,” tandasnya.
Ia juga menyerukan agar etika politik diperkuat melalui budaya malu, sikap bertanggung jawab, dan kesediaan untuk mundur saat melakukan kesalahan, sebagai bagian dari membangun demokrasi yang berperadaban.
Webinar ini dibuka oleh Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Prof. Eka Srimulyani, MA, Ph.D., yang menyampaikan bahwa kegiatan akademik seperti ini penting agar perguruan tinggi tidak menjadi menara gading yang eksklusif, melainkan menjadi “menara air” yang mengaliri dan mencerahkan masyarakat.
Turut hadir Ketua Prodi S3 Studi Islam, Prof. Syamsul Rijal, serta akademisi dan mahasiswa dari berbagai daerah, termasuk peserta dari Solo dan Mesir.[]