Retorik Kritik Para Pendengki
INISIATIF.CO – Dalam setiap kontestasi demokrasi, selalu ada yang menang dan ada yang kalah. Begitulah hukum alam politik. Safaruddin, melalui mekanisme konstitusional yang sah, telah memperoleh mandat rakyat lewat prinsip luber jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) serta disahkan melalui proses putusan final dan mengikat (inkracht van gewijsde) dari lembaga yang berwenang.
Dengan legitimasi itu, ia kini adalah pemegang mandat rakyat untuk memimpin Aceh Barat Daya selama lima tahun ke depan.
Namun, sebagaimana sejarah mencatat dari zaman ke zaman, kepemimpinan yang lahir dari rakyat sering tidak pernah sepi dari suara-suara sumbang (pendengung). Ada kritik yang mencerahkan, ada pula “kritik” yang sejatinya hanya kedengkian dan iri hati. Inilah yang berbahaya, ketika kritik bukan lagi bertujuan memperbaiki, melainkan merusak.
Safaruddin baru seumur jagung memimpin, tetapi sudah menunjukkan capaian yang nyata. Dari jalur perjuangannya di Jakarta, ia berhasil membawa pulang program-program nasional ke daerah. Ia melahirkan produk hukum pro-rakyat, menertibkan birokrasi yang kerap malas dan lamban, serta mendisiplinkan aparatur agar kembali kepada ruh pengabdian.
Ia bahkan lebih sering muncul menemui masyarakat miskin di pelosok-pelosok gampong, menyapa petani di sawah atau pedagang kecil di pasar, ketimbang duduk manis di ruang ber-AC mengenakan jas mewah merek Stenley Adam atau Brooks Brothers.
Kedekatan itu lahir bukan karena pencitraan, melainkan karena Safaruddin tahu betul denyut nadi masyarakatnya. Ia anak seorang penjahit pakaian sederhana, lahir dari keluarga miskin yang ditempa kerja keras. Ia tumbuh dalam kesulitan, sehingga paham betul sudut-sudut persoalan daerahnya; kemiskinan kronis, pertanian yang minim produksi, akses kesehatan terbatas, jalan pedesaan rusak, irigasi terbatas, pendidikan belum merata, lapangan kerja sempit, serta kebutuhan dasar masyarakat yang sering terpinggirkan.
Dari situ ia belajar, mungkin dirinya bukan seorang retorikus ulung yang pandai menjual kata-kata manis, melainkan seorang pecinta ilmu sejati. Gelar doktor (S3) yang ia raih dari Sumatra Utara bukanlah untuk gengsi pribadi, melainkan sebagai bekal berharga guna membangun dan mengabdi bagi tanah kelahirannya.
Namun, di tengah capaian tersebut, tidak jarang muncul kelompok individu dengan sikap antagonis yang dilandasi rasa iri. Bagi mereka, prestasi orang lain dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi dan superioritas diri. Kritik yang semestinya berfungsi sebagai instrumen konstruktif justru terdistorsi menjadi alat delegitimasi. Kondisi inilah yang berpotensi menimbulkan dampak destruktif.
Dalam sejarah Romawi Kuno, kita mengenal kisah Julius Caesar. Setelah mengalahkan musuh-musuhnya dan mengembalikan kejayaan republik, Caesar justru ditikam oleh orang-orang yang sebelumnya ia percayai. Motifnya bukan karena Caesar gagal memimpin, melainkan karena iri dan takut kehilangan pengaruh.
Begitu pula di Tiongkok kuno, Dinasti Han pernah diguncang pemberontakan istana bukan karena kaisar lalai, tetapi karena ada sekelompok orang yang tidak sanggup menanggung kesuksesan orang lain.
Kedengkian yang disamarkan sebagai kritik adalah racun. Ia tidak membangun, malah menghancurkan. Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang gagal membedakan kritik sehat dengan kritik beracun akan jatuh ke dalam perpecahan .
Hari ini, Aceh Barat Daya berdiri di persimpangan sejarah. Daerah yang kaya dengan potensi pertanian, kelautan, dan tradisi budaya ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat sekaligus dekat dengan rakyat. Safaruddin, dengan latar belakang dan ilmunya, sedang menapaki jalan itu. Ia bekerja, bukan bersandiwara. Ia membangun, bukan beretorika.
Maka, yang dibutuhkan sekarang adalah kritik yang sehat, konstruktif, dan substantif, bukan serangan personal (ad hominem) yang lahir dari iri hati. Jika kebijakan keliru, mari koreksi dengan data dan solusi. Tapi jika hanya karena dengki, itu bukan kritik, melainkan sabotase demokrasi.
Oleh karena itu, sekali lagi, kemenangan politik adalah mandat rakyat yang sah secara hukum dan moral. Seorang pemimpin yang telah dipercaya melalui mekanisme demokrasi berhak untuk bekerja tanpa terus-menerus diganggu. Bahaya terbesar bukanlah kritik itu sendiri, melainkan ketika kritik berubah menjadi instrumen kedengkian.
Seperti kata filsuf Cina kuno, “Iri hati adalah racun yang tidak membunuh orang lain, tetapi merusak hati pemiliknya sendiri.” Maka mari belajar membedakan antara kritik sehat dan kedengkian, demi masa depan Aceh Barat Daya yang lebih baik, demi kejayaan Bumoe Breuh Sigupai. Semoga![]