Header INS Spirit

Plat BL vs BK, Bobby Sulut Bara Api di Perbatasan Aceh-Sumut

Ilustrasi. (Foto: Dok INISIATIF.CO).

INISIATIF.CO – Bayangkan sebuah perbatasan provinsi yang biasanya ramai dengan deru truk pengangkut sawit dan kopi, tiba-tiba berubah menjadi panggung konfrontasi. Di sana, Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution, dengan gestur tegas ala petugas lalu lintas, menghentikan deretan truk berplat BL asal Aceh. “Ganti plat ke BK, biar pajaknya masuk kas Sumut,” katanya dalam video viral yang kini beredar seperti api di padang rumput kering media sosial.

Apa yang dimaksudkan sebagai langkah tegas untuk tingkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru memicu badai polemik, menggugat fondasi hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menggoyang hubungan saudara antarprovinsi yang telah terjalin sejak era kemerdekaan.

Seperti yang disoroti Lembaga Studi Kajian Kebijakan Publik (LSK2P) dalam pernyataan resminya kemarin, aksi spontan Bobby ini bukan sekadar “razia biasa”, melainkan gejolak yang tak perlu. Ketua LSK2P, Nasri, menegaskan bahwa isu plat BL versus BK bukanlah ranah baru, dan selama ini tak pernah memicu kegaduhan serius.

“Jangan sampai membuat sopir truk Aceh marah. Kalau Aceh hentikan pengiriman barang ke Sumut, Pelabuhan Belawan yang bergantung pada komoditas Aceh bakal lumpuh,” tegasnya, mengingatkan potensi domino efek ekonomi yang bisa merembet ke rantai pasok nasional.

Dari kaca mata hukum NKRI, tindakan Bobby tampak seperti pelanggaran halus terhadap prinsip otonomi daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi memang memberi wewenang kepada gubernur untuk mengelola pajak kendaraan bermotor (PKB) di wilayahnya, tapi bukan berarti bisa memaksakan mutasi plat nomor untuk kendaraan yang hanya melintas atau beroperasi sementara.

Peraturan Kepala Kepolisian RI (Perkap) Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor jelas menyatakan bahwa mutasi wajib hanya berlaku jika pemilik kendaraan pindah domisili secara permanen. Truk plat BL yang sah dengan STNK dan BPKB tetap boleh melintas ke Sumut, Riau, bahkan Jakarta, tanpa kewajiban ganti plat sementara.

Rasionalisasi hukum di sini sederhana, pajak kendaraan adalah kewajiban administratif berdasarkan domisili pendaftaran, bukan “pajak perbatasan” yang bisa dikenakan seenaknya. Memaksa ganti plat justru melanggar Pasal 18A UUD 1945 yang menjamin kesatuan wilayah NKRI, di mana alur barang dan jasa antarprovinsi harus bebas hambatan untuk mendukung ekonomi nasional.

Gejolak yang ditimbulkan aksi ini bukan sekadar tweet marah atau meme di X (dulu Twitter), tapi retakan nyata pada persatuan dan kesatuan bangsa. Di Aceh, respons datang cepat dan pedas: Gubernur Muzakir Manaf (Mualem) menanggapi santai tapi menusuk, “Tak perlu terpancing emosi,” sambil menyiratkan bahwa Bobby sebaiknya pahami aturan daripada bikin konflik. Anggota DPD RI Azhari Cage bahkan sindir, “Kenapa tak sekalian minta paspor?” sementara politisi PDIP asal Aceh mengecamnya sebagai upaya “menyulut konflik baru”.

Di X, gelombang kritik membanjiri, dari ultimatum Nasir Djamil agar polisi tangkap Bobby jika ngotot, hingga sindiran “Gubernur rasa preman” yang viral. Bahkan Gubernur Riau ikut angkat bicara, mengancam perusahaan yang enggan mutasi plat BM-nya, menunjukkan betapa rapuhnya harmoni antarprovinsi jika kebijakan lokal dibiarkan liar.

Dampaknya? Ekonomi Sumut sendiri yang terancam. Pelabuhan Belawan, gerbang utama ekspor Sumut, bergantung 70% pada komoditas Aceh seperti minyak sawit dan kakao. Jika sopir Aceh balas dendam dengan boikot, rantai logistik lumpuh, harga melonjak, dan PAD Sumut yang diincar Bobby justru merosot. Lebih parah, ini mengikis semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, slogan yang lahir dari perjuangan bersama melawan penjajah.

Di era pasca-MoU Helsinki 2005 yang telah menyembuhkan luka Aceh, aksi seperti ini berisiko membangkitkan trauma separatisme, meski hanya sekadar isu pajak. Rasionalisasi hukum menuntut koordinasi, bukan konfrontasi, Kementerian Dalam Negeri seharusnya fasilitasi dialog antargubernur, sementara Polri tegakkan Perkap secara adil tanpa campur tangan eksekutif daerah.

Pada akhirnya, Bobby Nasution, yang kini dijuluki “menantu Jokowi” di tengah hiruk-pikuk politik nasional, punya peluang emas untuk ubah narasi. Alih-alih razia jalanan, ajak Aceh bicara soal formula pajak bersama, seperti skema bagi hasil antarprovinsi yang sudah diterapkan di Jawa.

Kebijakan publik yang baik bukan yang menang sendiri, tapi yang menang bareng. Jika tidak, polemik plat BL ini takkan berakhir di perbatasan Langkat, tapi di ruang sidang MK, dan yang rugi, tentu rakyat Sumut-Aceh yang saling bergantung. Saatnya gubernur belajar, NKRI bukan soal plat nomor, tapi hati yang satu.[]

Editor : Redaksi
inisiatifberdampak
Tutup