Penambang Emas Aceh Selatan Tolak Penutupan Tambang Ilegal Oleh Mualem, Minta WPR Jadi Solusi
INISIATIF.CO, Tapaktuan – Rencana Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), untuk menutup seluruh aktivitas tambang ilegal dalam dua pekan ke depan menuai penolakan keras dari penambang emas tradisional di Aceh Selatan.
Rizal, salah seorang penambang emas, menilai kebijakan tersebut terlalu tergesa-gesa dan mengabaikan nasib masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari hasil tambang.
“Kalau tambang emas ditutup tanpa solusi, bagaimana kami bisa makan? Banyak keluarga di sini hanya bergantung pada hasil tambang. Kami bukan mafia, kami rakyat kecil,” ujar Rizal, Sabtu (27/9/2025).
Rizal menyebut jalan tengah terbaik adalah dengan menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Menurutnya, legalisasi tambang justru akan memberi kepastian hukum, membuka ruang penggunaan teknologi ramah lingkungan, sekaligus meningkatkan pendapatan resmi daerah.
“Kami setuju dengan penertiban, tapi jangan diberangus. Kalau ada WPR, semua bisa diatur, diawasi, dan dipajaki,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penutupan tambang tanpa solusi alternatif bisa memicu konflik horizontal serta memperparah kemiskinan di pedalaman. “Jangan sampai keputusan ini hanya menguntungkan segelintir perusahaan besar,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menegaskan bahwa aktivitas tambang ilegal telah merusak hutan, mencemari sungai, dan menimbulkan kerugian daerah hingga Rp2 triliun per tahun.
Karena itu, ia memberi tenggat dua pekan bagi seluruh penambang ilegal untuk menghentikan operasi dan mengeluarkan alat berat dari kawasan hutan.
“Semua aktivitas ilegal harus keluar dari hutan Aceh,” kata Mualem. Ia menambahkan, arah kebijakan pemerintah adalah menekan kerusakan lingkungan sekaligus menyiapkan regulasi agar tambang bisa dikelola secara sah oleh masyarakat maupun UMKM.
Penolakan dari penambang rakyat di Aceh Selatan kini menjadi dilema bagi pemerintah daerah. Di satu sisi, instruksi gubernur harus dijalankan demi menjaga kelestarian lingkungan. Namun di sisi lain, aspirasi masyarakat yang bertahan hidup dari tambang tradisional tak bisa diabaikan.
Situasi ini membuat penetapan WPR dan legalisasi tambang rakyat semakin mendesak agar pemerintah bisa menyeimbangkan antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian alam Aceh.[]