Banner Niagahoster
Ramadhan

Kurikulum Berbasis Cinta dalam Spirit Ramadan

Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag (Rektor Universitas Islam Negeri Mataram)

*Oleh: Prof. Dr. H. Masnun, M.Ag

INISIATIF.CO – Gagasan kurikulum berbasis cinta yang diusulkan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA memiliki relevansi yang kuat dengan nilai-nilai yang diajarkan Ramadan. Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momentum spiritual untuk menanamkan nilai kasih sayang, toleransi, dan solidaritas sosial. Hikmah Ramadan dapat menjadi landasan kuat dalam membangun sistem pendidikan yang berorientasi pada cinta dan kemanusiaan.

Bank Aceh

Puasa mengajarkan manusia untuk merasakan lapar dan haus, sehingga tumbuh kesadaran terhadap penderitaan orang lain. Dalam konteks kurikulum berbasis cinta, nilai ini dapat diterapkan melalui:

Pertama, pendidikan karakter berbasis empati, bagaimana membantu siswa memahami kondisi orang-orang yang kurang beruntung. Pendidikan karakter berbasis empati adalah pendekatan yang bertujuan untuk menanamkan kepedulian dan kesadaran sosial dalam diri peserta didik agar mereka mampu memahami dan merasakan kondisi orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung. Empati bukan sekadar merasakan, tetapi juga bertindak untuk membantu dan meringankan penderitaan orang lain. Pendidikan berbasis empati sangat relevan dalam membentuk generasi yang lebih peduli, inklusif, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri dalam situasi orang lain, merasakan emosi mereka, dan memahami perspektif yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, empati membantu siswa untuk mengembangkan kesadaran sosial terhadap realitas yang dihadapi oleh orang-orang yang kurang beruntung, seperti anak-anak yatim, kaum dhuafa, dan penyandang disabilitas.

Pendidikan karakter berbasis empati bukan hanya tentang mengajarkan teori, tetapi membentuk siswa agar benar-benar merasakan penderitaan orang lain dan terdorong untuk bertindak. Dengan metode yang tepat, seperti experiential learning, proyek sosial, dan budaya sekolah yang inklusif, empati dapat menjadi bagian dari identitas moral siswa. Jika diterapkan secara luas, pendidikan berbasis empati akan melahirkan generasi yang lebih peduli, penuh cinta kasih, dan siap membangun masyarakat yang lebih harmonis.

Kedua, Program sosial dan kepedulian. Program sosial dan kepedulian merupakan bagian integral dari pendidikan yang tidak hanya bertujuan untuk membentuk kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Kegiatan berbagi atau santunan bagi mereka yang membutuhkan bukan sekadar aksi filantropi, tetapi juga sarana pembelajaran yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan tanggung jawab sosial.

Dalam dunia yang semakin individualistis, pendidikan tidak boleh hanya berfokus pada pencapaian akademik. Diperlukan upaya untuk menanamkan kesadaran sosial agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang Peduli terhadap penderitaan orang lain dan mampu berkontribusi dalam masyarakat—tidak hanya sebagai individu yang sukses secara pribadi tetapi juga sebagai agen perubahan sosial.

Program sosial dan kepedulian dalam pendidikan bukan sekadar kegiatan tambahan, tetapi bagian dari pembelajaran yang membentuk karakter siswa menjadi pribadi yang lebih peduli, bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran sosial tinggi. Dengan mengintegrasikan kegiatan berbagi dan santunan ke dalam kurikulum, sekolah dapat mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki hati yang penuh kasih dan jiwa yang siap mengabdi untuk kemanusiaan.

Dengan adanya program ini, kita tidak hanya membentuk siswa yang berprestasi, tetapi juga manusia yang memiliki makna bagi orang lain. Bukankah ini tujuan utama dari pendidikan yang sesungguhnya?

Jadi hikmah Ramadan memberikan landasan spiritual dan moral yang kuat bagi implementasi kurikulum berbasis cinta. Nilai-nilai seperti empati, kesabaran, toleransi, dan keimanan yang humanis sejalan dengan tujuan utama kurikulum ini, yaitu membentuk generasi yang penuh kasih sayang dan menghargai perbedaan. Dengan memanfaatkan momentum Ramadan, penerapan kurikulum berbasis cinta dapat lebih mudah diterima dan diinternalisasi oleh siswa, guru, serta masyarakat luas.

Paradigma Baru Pendidikan

Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan berbasis cinta menjadi paradigma baru yang menembus batas ritualisme dalam pembelajaran agama. Kurikulum berbasis cinta bukan sekadar mengajarkan tata cara ibadah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan moderasi. Tujuannya adalah membentuk generasi muda yang tidak hanya taat beragama tetapi juga mampu hidup berdampingan secara damai dalam keberagaman.

Gagasan ini menjadi sangat relevan di tengah meningkatnya polarisasi sosial dan konflik berbasis identitas. Pendidikan agama yang menitikberatkan pada cinta dan kasih sayang akan melahirkan individu yang tidak hanya memahami agamanya dengan baik, tetapi juga mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.

Dalam konteks kurikulum berbasis cinta, cinta bukan sekadar emosi atau perasaan, melainkan sebuah prinsip moral yang terwujud dalam tindakan nyata.

Salah satu tantangan utama dalam pendidikan agama adalah bagaimana menjadikannya sebagai sumber inspirasi untuk persatuan, bukan alat pemisah yang memperdalam sekat-sekat perbedaan. Pendekatan eksklusif dalam pendidikan agama sering kali hanya menekankan dogma dan ritual tanpa membangun pemahaman akan keberagaman. Kurikulum berbasis cinta mengajarkan bahwa keberagaman adalah fitrah kehidupan (QS. Al-Hujurat: 13) dan harus dihormati, bukan ditakuti.

Ketika peserta didik memahami bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan anugerah, mereka akan lebih siap untuk hidup di tengah pluralitas tanpa rasa curiga atau kebencian. Banyak konflik sosial terjadi karena kurangnya pemahaman dan empati terhadap kelompok yang berbeda. Kurikulum berbasis cinta menekankan bahwa menghormati keberagaman adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar nilai sosial. Dengan pendekatan ini, pendidikan agama tidak hanya membentuk individu yang taat secara spiritual, tetapi juga membangun masyarakat yang harmonis dan damai.

Hakikat dari semua ajaran agama adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Rasulullah SAW diutus sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107), bukan hanya bagi kelompok tertentu. Dengan memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran agama, siswa akan lebih berorientasi pada kontribusi sosial, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.

Intinya, bahwa pendidikan agama tidak boleh hanya berhenti pada ritual dan hafalan teks-teks suci. Ia harus berkembang menjadi pendidikan yang menanamkan cinta sebagai fondasi utama dalam beragama dan bermasyarakat. Dengan menerapkan kurikulum berbasis cinta, kita bisa menciptakan generasi yang memahami agamanya dengan mendalam, tetapi tetap terbuka dan penuh kasih sayang terhadap sesama.

Pilar Kurikulum Berbasis Cinta

Pilar dan aspek-aspek Kurikulum berbasis cinta Pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter dan jiwa. Kurikulum berbasis cinta hadir untuk menjadikan pendidikan lebih bermakna, tidak hanya menanamkan aspek kognitif tetapi juga membentuk spiritualitas, kepedulian sosial, kesadaran lingkungan, dan cinta tanah air.

Dalam Islam, konsep cinta bukan hanya terbatas pada hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga mencakup hubungan dengan sesama manusia, lingkungan, dan tanah air. Oleh karena itu, kurikulum cinta dibangun atas empat pilar utama, seperti yang disampaikan oleh Dirjen Pendis, Prof. DR. H. Amin Suyitno, MA:

Pertama, Membangun Cinta kepada Tuhan (Hablun minallah). Cinta kepada Tuhan adalah fondasi utama dalam kurikulum cinta. Manusia yang memiliki hubungan baik dengan Tuhan akan memiliki hati yang penuh kasih dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Pendidikan agama dalam kurikulum ini tidak hanya menekankan hafalan ayat atau tata cara ibadah, tetapi juga menanamkan makna cinta dalam spiritualitas, di mana keimanan itu harus diwujudkan dalam perilaku—seorang yang mencintai Tuhan harus mencerminkan kasih sayang-Nya dalam tindakan sehari-hari.

Ketika siswa memahami ibadah sebagai bentuk ekspresi cinta kepada Tuhan, mereka akan lebih ikhlas dalam menjalankan kebaikan dan menjauhi kejahatan.

Kedua, Membangun Cinta kepada Sesama Manusia (Hablun minannas). Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Hubungan baik dengan Tuhan harus dibuktikan dengan sikap baik kepada sesama. ”Tidak beriman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari & Muslim)

Kurikulum cinta mengajarkan bahwa Cinta kepada sesama tidak terbatas pada agama, suku, atau latar belakang sosial. Cinta sejati tidak mengenal sekat-sekat perbedaan, ia mengalir melampaui batas agama, suku, dan status sosial. Cinta kepada sesama adalah refleksi dari nilai kemanusiaan yang universal, di mana setiap individu dipandang sebagai makhluk yang berharga dan bermartabat.”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Ketiga, Membentuk Kepedulian kepada Lingkungan (Hablun bi’ah). Alam adalah bagian dari amanah Tuhan kepada manusia. Mencintai lingkungan adalah bagian dari keimanan dan bentuk penghambaan kepada Allah. “Barang siapa yang menanam pohon, maka Allah akan memberikan pahala setiap buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut.” (HR. Ahmad)

Namun, di era modern ini, banyak manusia yang merusak lingkungan tanpa rasa tanggung jawab. Oleh karena itu, kurikulum cinta harus menanamkan kepedulian terhadap lingkungan sejak dini. Cinta bukan hanya untuk sesama manusia, tetapi juga untuk alam semesta, karena bumi adalah rumah bersama yang harus dijaga kelestariannya.

Anak-anak perlu diajarkan bahwa menyayangi alam adalah bagian dari ibadah. Islam sendiri menekankan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56). Jika kesadaran ekologis ini ditanamkan dalam pendidikan, maka akan lahir generasi yang mencintai lingkungan dan bertanggung jawab atas kelestariannya.

Keempat, Menanamkan Kecintaan kepada Bangsa (Hubbul Wathan). Cinta tanah air bukan hanya sekadar slogan, tetapi bagian dari iman. Membela dan membangun negara adalah bagian dari pengamalan agama. Rasulullah SAW menunjukkan kecintaannya kepada Makkah saat beliau harus berhijrah ke Madinah, “Wahai Makkah, engkau adalah negeri yang paling aku cintai, seandainya kaummu tidak mengusirku, aku tidak akan pergi.” (HR. Tirmidzi)

Cinta kepada tanah air adalah bagian dari iman, artinya membela dan membangun negara bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi juga bagian dari pengamalan agama. Islam mengajarkan bahwa kesejahteraan suatu bangsa bergantung pada kontribusi warganya dalam menjaga kedamaian, keadilan, dan kemajuan.

Rasulullah SAW sendiri menunjukkan kecintaan mendalam kepada tanah kelahirannya, Makkah. Ketika harus hijrah, “Demi Allah, engkau adalah negeri yang paling kucintai. Jika bukan karena pendudukmu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.” (HR. Tirmidzi)

Dengan menanamkan nilai-nilai kebangsaan dalam kurikulum cinta, generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga siap berkontribusi untuk kemajuan bangsanya.

Kurikulum berbasis cinta adalah pendekatan holistik dalam pendidikan yang membangun manusia dari berbagai aspek: spiritualitas, kepedulian sosial, kesadaran ekologis, dan nasionalisme.

Jika keempat pilar ini diterapkan dengan baik, maka pendidikan tidak hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga manusia yang berjiwa kasih, peduli sesama, mencintai lingkungan, dan siap membangun bangsanya. Oleh karenanya Direktur PTKI, Prof Dr Phil H Sahiron, MA dalam arahannya meminta jajaran pimpinan PTKI secepatnya mengadopsi kurikulum berbasis cinta ini sebagai warna baru dalam proses pendidikan agama.

Sebagai catatan pinggir, bahwa bulan Ramadan adalah momentum spiritual yang penuh makna dalam membentuk kesadaran cinta, baik kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa. Ibadah-ibadah yang dilakukan selama Ramadan bukan sekadar ritual kosong, tetapi memiliki dimensi transformatif yang selaras dengan kurikulum cinta dalam pendidikan.

Ramadan adalah bulan yang penuh dengan pelajaran cinta. Melalui ibadah puasa, zakat, tadarus, dan amal sosial, seseorang tidak hanya membangun hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga memperkuat hubungan horizontal dengan manusia, lingkungan, dan bangsa. Jika nilai-nilai Ramadan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan, maka akan lahir generasi yang memiliki cinta sejati—cinta yang menumbuhkan kebaikan, kasih sayang, kepedulian, dan tanggung jawab sosial.[]

*Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Mataram.

Editor : Ikbal Fanika
Iklan BRI
Tutup