Banner Niagahoster
Ramadhan

Kenapa Pemuda Abdya Memilih Menyeberang ke Malaysia?

Pasar tradisional Blangpidie. (Foto INISIATIF.CO)

INISIATIF.CO“Napsu mita peng jak u Blangpidie, napsu meutani u Gunang Jaya (Keinginan cari duit pergi ke kota Blangpidie, kalau ingin bertani  pergi ke Gunang Jaya).” Inilah sepenggal lirik lagu Syahlotan, menggambarkan Aceh Barat Daya (dulu bagian Kabupaten Aceh Selatan) kala itu.

Dulu, daerah ini dikenal sebagai episentrum ekonomi di wilayah Barsela (Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya). Pasar tradisionalnya ramai, arus dagang mengalir deras, dan tanahnya subur dengan hasil pertanian yang melimpah. Kini, gambaran itu tinggal kenangan. Pusat ekonomi yang pernah jaya itu lesu, pasar tradisional sepi, dan aset daerah terbengkalai. Di tengah kehampaan itu, gelombang pemuda Abdya memilih merantau ke Malaysia secara ilegal, meninggalkan keluarga, demi sesuap nasi yang tak kunjung mereka dapatkan di kampung halaman.

Bank Aceh

Apa yang mendorong mereka nekat melintas laut dengan resiko ditangkap, diperas, atau bahkan kehilangan nyawa? Jawabannya bukan sekadar “keterpaksaan”, melainkan jerat kemiskinan struktural yang telah membelit Abdya selama bertahun-tahun.

Di sini, lapangan kerja nyaris tak ada. Sektor pertanian yang dulu menjadi andalan tergerus minimnya inovasi dan dukungan pemerintah. Pasar tradisional sebagai penyangga ekonomi rakyat kini seperti kuburan. Los-los kosong, atap bocor, dan pedagang yang tersisa hanya bisa merintih melihat nasib. Sementara itu, aset daerah seperti gedung pasar di jalan Haji Ilyas, Meudang Ara, kini terbengkalai, ditumbuhi rumput dan berlumut, tanpa perawatan. Pemkab kerap berjanji akan menghidupi pergerakan ekonomi, tetapi janji itu menguap bersama anggaran yang tak jelas arahnya.

Kondisi ini kontras dengan masa lalu Abdya yang dikenal dengan sebutan kota dagang. Pada era 90-an hingga awal 2000-an, pasar Blangpidie menjadi pusat distribusi komoditas ke seluruh Barsela. Pedagang dari Aceh Barat, Nagan Raya dan Aceh Selatan berduyun datang. Hasil bumi seperti nilam, cengkeh, pinang, kopi, serta tanaman hortikultura mengalir deras, menciptakan mata pencaharian bagi ribuan keluarga. Namun, ketika harga komoditas dunia jatuh, Abdya tak punya rencana cadangan. Pemerintah daerah lamban merespons, tak ada diversifikasi ekonomi, tak ada pelatihan untuk mengolah hasil pertanian menjadi produk bernilai tambah. Perlahan, roda ekonomi macet. Pedagang besar gulung tikar, pengusaha kecil bangkrut, dan anak muda yang tak punya akses modal atau pendidikan terpaksa menatap masa depan suram.

Di sinilah Malaysia menjadi “pelarian”. Meski ilegal, negeri jiran itu menjanjikan upah yang—dalam persepsi mereka—lebih manusiawi dibanding penghasilan tak menentu di Abdya. Di kampung, menjadi buruh tani hanya dibayar Rp40.000 sehari, itu pun jika ada pekerjaan. Di Malaysia, meski dihisap majikan, mereka bisa mengirimkan Rp2-3 juta sebulan untuk keluarga. Paradoksnya, “hujan emas di negeri orang” ternyata lebih menggiurkan daripada “hujan batu di negeri sendiri”. Bagi mereka, lebih baik menghadapi siksaan di rantau daripada menyaksikan anak dan istri kelaparan di rumah.

Tapi benarkah ini hanya soal uang? Tidak sepenuhnya. Migrasi ilegal ke Malaysia adalah cermin kegagalan negara dalam memberikan perlindungan sosial dan keadilan ekonomi. Kemiskinan di Abdya bersifat struktural. Sistem yang seharusnya membuka akses pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja justru mengubur harapan. Alih-alih membenahi pasar tradisional atau membuka industri kecil, pemerintah daerah sibuk berwacana tanpa realisasi. Alih-alih memelihara infrastruktur yang ada, mereka membiarkan aset publik rusak. Akibatnya, generasi muda tidak melihat masa depan di tanah kelahiran. Mereka memilih merantau meski harus jadi buruh tanpa hak, tanpa jaminan keselamatan, karena di Abdya, bahkan untuk jadi “manusia merdeka” pun mereka tak mampu.

Ironisnya, di balik kepiluan ini, ada potensi besar yang terpendam. Abdya memiliki lahan pertanian luas, hasil laut yang melimpah, dan tenaga kerja muda yang gigih. Jika pasar tradisional direvitalisasi, pelabuhan perikanan dikelola serius, dan pelatihan kewirausahaan diberikan, gelombang migrasi bisa dikurangi. Sayangnya, political will pemangku kebijakan masih lemah. Mereka lebih sering terlihat sebagai penonton yang pasrah, sementara pemuda-pemuda terbaiknya mengais rezeki di negeri orang dengan cara yang memilukan.

Hingga kapan cerita ini akan berulang? Selama kemiskinan struktural masih membelit, selama pemerintah abai membuka lapangan kerja, dan selama harga diri sebagai warga negeri sendiri tak lagi bermakna, gelombang pemuda Abdya ke Malaysia akan tetap mengalir. Mereka mungkin dianggap “ilegal” oleh negara, tetapi sejatinya, merekalah korban paling nyata dari sistem yang gagal memberi mereka hak untuk hidup layak di tanah air sendiri.[]

Editor : Redaksi
Iklan BRI
Tutup