Keberhasilan Umar bin Abdul Aziz Mengelola Zakat hingga Nyaris Zero Mustahik
*Oleh: Muhammad Ikbal Fanika, M.Sos
Sejarah mencatat banyak pemimpin besar dalam dunia Islam, tetapi hanya sedikit yang benar-benar meninggalkan jejak mendalam bagi peradaban umat. Salah satunya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), sosok yang kerap dijuluki sebagai “khalifah kelima” setelah masa Khulafaur Rasyidin.
Kepemimpinannya singkat, hanya sekitar dua tahun lebih, namun kebijakan dan keteladanannya menjadikan beliau sebagai simbol keadilan, kesederhanaan, dan keberhasilan dalam mengelola zakat hingga nyaris tidak ditemukan lagi mustahik (orang yang berhak menerima zakat) di wilayah kekuasaan Islam kala itu.
Umar bin Abdul Aziz lahir dari keluarga Bani Umayyah, dinasti besar yang memegang tampuk kekuasaan setelah masa sahabat. Meski berasal dari keluarga istana, sejak muda ia telah menunjukkan pribadi yang berbeda. Ketika menjabat sebagai khalifah, Umar menolak kemewahan, memilih hidup sederhana, dan mengembalikan harta-harta yang bukan haknya ke baitul mal.
Ia bahkan menolak fasilitas istana berlebih, memutuskan hidup layaknya rakyat biasa. Kepada orang-orang di sekitarnya, ia sering berkata, “Aku tidak ingin ada sebutir harta umat pun yang tidak sampai kepada yang berhak, sementara aku hidup bergelimang kemewahan.”
Keputusan yang paling monumental dari Umar bin Abdul Aziz adalah membenahi tata kelola zakat. Sebelum kepemimpinannya, pengelolaan zakat di era Bani Umayyah sering kali berjalan tidak maksimal. Distribusi tidak merata, birokrasi lemah, dan terkadang terhambat oleh kepentingan politik. Umar menyadari bahwa zakat bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan sistem sosial ekonomi yang ditetapkan langsung oleh Allah SWT untuk menghapus kesenjangan. Oleh sebab itu, ia memulai reformasi besar dalam sistem pengelolaan zakat.
Langkah pertama adalah memastikan bahwa harta zakat benar-benar dihimpun secara adil. Ia mengutus para amil zakat yang amanah dan jujur, melarang keras segala bentuk manipulasi, serta menekankan prinsip transparansi. Umar juga menegaskan bahwa zakat tidak boleh hanya diberikan secara konsumtif, melainkan juga harus diarahkan untuk pemberdayaan. Riwayat sejarah menyebut, sebagian zakat disalurkan dalam bentuk modal usaha, bibit pertanian, atau pemeliharaan hewan ternak, sehingga para penerima zakat bisa mandiri secara ekonomi.
Hasilnya mengejutkan. Dalam waktu singkat, kondisi ekonomi rakyat meningkat pesat. Sejarawan Islam, Imam adz-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam, meriwayatkan bahwa para amil zakat pada masa itu sering kembali membawa harta zakat karena tidak menemukan lagi orang miskin yang mau menerima. Masyarakat menolak dengan alasan mereka sudah berkecukupan. Bahkan ada kisah yang menyebutkan bahwa zakat sampai disalurkan ke luar daerah karena di dalam negeri hampir tidak ada lagi mustahik.
Kebijakan Umar tidak hanya berhenti pada zakat. Ia juga memperkuat potensi wakaf, menata pajak jizyah dengan adil bagi non-Muslim, dan memastikan harta baitul mal digunakan untuk kepentingan rakyat. Teladannya sebagai pemimpin sederhana menjadi faktor kunci keberhasilan. Umar menolak hadiah, tidak mengambil harta umat untuk kepentingan pribadi, bahkan keluarganya sendiri hidup dalam kesederhanaan. Dari sinilah muncul budaya amanah di kalangan pejabat, karena mereka melihat pemimpinnya benar-benar jujur dan adil.
Keberhasilan Umar bin Abdul Aziz menjadi bukti nyata bahwa zakat bukan hanya ibadah spiritual, melainkan instrumen sosial ekonomi yang sangat kuat. Namun, pelajaran dari sejarah ini masih sangat relevan hingga hari ini. Potensi zakat di dunia Muslim, termasuk Indonesia, sangat besar, tetapi belum sepenuhnya dikelola dengan baik.
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mencatat potensi zakat nasional bisa mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun, tetapi realisasi penghimpunan masih jauh dari angka tersebut. Salah satu tantangan besar adalah rendahnya kesadaran masyarakat dan perlunya peningkatan profesionalisme lembaga zakat.
Jika kita menengok kembali kepada Umar bin Abdul Aziz, ada pesan penting yang harus dipahami. Pertama, kesungguhan pemimpin dalam menegakkan amanah adalah kunci utama keberhasilan. Umar menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya.
Kedua, zakat harus dipandang bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sebagai sistem keadilan sosial yang mampu menyeimbangkan distribusi kekayaan. Dengan dua prinsip ini, umat Islam bisa membangun kembali kekuatan sosial ekonomi yang pernah dicapai pada masa keemasan Islam.
Lebih dari itu, menunaikan zakat memiliki dimensi spiritual yang tidak kalah penting. Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” Ayat ini menegaskan bahwa zakat adalah pembersih harta dan jiwa. Harta yang kita miliki sejatinya adalah titipan Allah, dan zakat menjadi cara untuk menghapus sifat kikir serta tamak. Dengan zakat, kita tidak hanya memberi manfaat kepada orang lain, tetapi juga menyucikan diri dari cinta dunia yang berlebihan (hubbu ad-dunya).
Di tengah tantangan modern seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan meningkatnya kebutuhan masyarakat, zakat menjadi solusi nyata. Jika dikelola dengan baik dan ditunaikan dengan kesadaran tinggi, zakat mampu menumbuhkan solidaritas sosial, memperkuat ukhuwah, serta mengurangi jurang kesenjangan. Seperti yang ditunjukkan oleh Umar bin Abdul Aziz, zakat bahkan bisa membawa sebuah masyarakat menuju kondisi di mana mustahik hampir tidak ditemukan lagi (zero mustahik).
Kini, pertanyaannya kembali kepada kita. Sudahkah kita menunaikan zakat dengan benar? Sudahkah kita menyalurkan melalui lembaga yang amanah dan profesional? Sudahkah kita menjadikan zakat bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan untuk membersihkan harta dan jiwa? Sejarah Umar bin Abdul Aziz memberikan jawaban jelas, zakat mampu menghapus kemiskinan jika dikelola dengan sungguh-sungguh.
Maka, mari kita jadikan zakat sebagai bagian penting dalam kehidupan. Mari tunaikan zakat mal, zakat profesi, maupun zakat fitrah dengan ikhlas, jujur, dan tepat sasaran. Dengan zakat, kita tidak hanya menyucikan harta, tetapi juga ikut membangun masa depan umat yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Seperti Umar bin Abdul Aziz, kita pun bisa meninggalkan warisan yang menginspirasi generasi setelah kita. Semoga!
*Penulis adalah Pengajar di Prodi KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Dewan Pengawas Baitul Mal Kabupaten Aceh Barat Daya.
Referensi: