ANTINARKOBA

Rencana Penambahan Batalyon TNI Diprotes di Aceh: Membangun atau Menggoyang Perdamaian?

Ratusan prajurit TNI AD dari Batalyon Infanteri Raider 142/Ksatria Jaya mengikuti upacara pemberangkatan Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Timur di Pelabuhan Boom Baru Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (28/8/2019). Sebanyak 400 orang prajurit TNI AD dari Batalyon Infanteri Raider 142/Ksatria Jaya, Jambi diberangkatkan untuk pengamanan perbatasan negara Republik Indonesia-Republik Demokratik Timur Leste selama sembilan bulan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

Malik Mahmud selaku pemimpin adat di Aceh mengatakan kepercayaan dan komitmen bersama pada apa yang telah disepakati adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu memasuki era pembangunan Aceh di masa depan yang cemerlang.

Penambahan batalyon di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil disebut akan melanggar ketentuan Pasal 4.7–4.11 MoU Helsinki, yang membatasi kehadiran militer di Aceh maksimal 14.700 personel. Dengan 13 batalyon aktif saat ini, masuknya empat satuan tambahan jelas dianggap problematik.

Kontroversi Peran Ganda TNI

Tak hanya soal jumlah pasukan, substansi program BTP sendiri juga dikritisi. Setiap batalyon dirancang memiliki Kompi Pertanian, Kompi Peternakan, bahkan Kompi Kesehatan. Ini memicu kekhawatiran akan lahirnya kembali praktik Dwifungsi ABRI, di mana TNI mengintervensi urusan sipil.

“Yang dibutuhkan Aceh adalah kesejahteraan, bukan tambahan pasukan. Kami minta dialog terbuka untuk menghindari kesalahpahaman,” seru Ketua Front Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan (FOMAPAK), Tarmizi, Kamis (1/5/2025).

Senada, Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman Haji Uma, menilai kondisi keamanan Aceh sudah stabil. Menurutnya, ketimbang menambah batalyon baru, pemerintah seharusnya memprioritaskan peningkatan kualitas personel dan kesejahteraan rakyat.

Soft Power TNI: Ambisi dan Realitas

Kementerian Pertahanan mempromosikan BTP sebagai “pasukan melawan kelaparan”, bentuk soft power militer untuk meredam kemiskinan dan mempercepat pembangunan. Namun, bagi banyak pihak di Aceh, langkah ini justru berpotensi menggerus kepercayaan terhadap komitmen damai pemerintah pusat.

“Jika tujuannya ketahanan pangan, seharusnya dikelola dinas terkait, bukan TNI. Ini berisiko memicu militerisasi sektor sipil,” kritik Azharul Husna dari KontraS Aceh.

Di sisi lain, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Niko Fahrizal, menyampaikan bahwa keberadaan BTP di Aceh justru akan mempererat hubungan antara TNI dan masyarakat. Ia mencontohkan rencana pendampingan petani dan pemanfaatan lahan tidur untuk mendukung program swasembada pangan.

Editor : Ikbal Fanika
inisiatifberdampak
Tutup