ANTINARKOBA

Rencana Penambahan Batalyon TNI Diprotes di Aceh: Membangun atau Menggoyang Perdamaian?

Ratusan prajurit TNI AD dari Batalyon Infanteri Raider 142/Ksatria Jaya mengikuti upacara pemberangkatan Satgas Pamtas RI-RDTL Sektor Timur di Pelabuhan Boom Baru Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (28/8/2019). Sebanyak 400 orang prajurit TNI AD dari Batalyon Infanteri Raider 142/Ksatria Jaya, Jambi diberangkatkan untuk pengamanan perbatasan negara Republik Indonesia-Republik Demokratik Timur Leste selama sembilan bulan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.

INISIATIF.CO, Banda Aceh – Di tengah upaya TNI Angkatan Darat (TNI AD) memperluas peran dari kekuatan pertahanan menjadi motor pembangunan nasional, gelombang protes justru menggema dari Aceh. Program 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP), yang digagas sebagai respons terhadap instruksi Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dinilai sebagian kalangan sebagai langkah mundur dari komitmen damai pascakonflik.

Secara nasional, BTP dirancang untuk menanggulangi ketimpangan dan memperkuat ketahanan pangan. Namun, di Aceh, wacana penambahan 4 batalyon baru memicu kekhawatiran pelanggaran atas Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 yang menjadi fondasi perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia.

“Kami mencari lokasi yang mendukung program pemerintah, terutama di daerah prioritas seperti Papua, Sulawesi, dan Kalimantan. BTP akan menjadi mitra aktif masyarakat di lapangan,” ujar Kepala Staf TNI AD Jenderal Maruli Simanjuntak, dalam rapat dengan Komisi I DPR RI, Selasa (4/2/2025).

Aceh Menolak: Damai Bukan Sekadar Absennya Perang

Penolakan terhadap rencana penempatan BTP di Aceh datang dari berbagai elemen lokal—pemerintah daerah, lembaga adat, hingga organisasi masyarakat sipil. Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, menyuarakan kekhawatiran kolektif atas potensi remiliterisasi wilayah yang pernah dihantui konflik bersenjata selama tiga dekade.

“Masyarakat Aceh sudah hidup damai. Penambahan pasukan justru mengancam stabilitas dan mengingatkan kami pada konflik bersenjata masa lalu,” tegas Malik Mahmud dilansir Beritasatu.com.

Menurutnya, geopolitik dunia saat ini, hubungan negara-negara berdekatan dengan Indonesia (ASEAN) baik-baik saja. Ini termasuk India, Sri Langka, Bangladesh dan Asutralia. Alasan untuk menambah personel TNI di Aceh, kata dia, tidak tepat.

“Seandainya ada ancaman dari luar, rakyat Aceh dapat diharapkan untuk menantang musuh yang datang dari luar. Sejarah Aceh telah membuktikan Aceh sendiri dapat menantang Portugis selama ini lebih dari 100 tahun, Belanda 70 tahun, dan Jepang 3,5 tahun,” ujar mantan perdana menteri GAM ini.

Malik Mahmud selaku pemimpin adat di Aceh mengatakan kepercayaan dan komitmen bersama pada apa yang telah disepakati adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu memasuki era pembangunan Aceh di masa depan yang cemerlang.

Penambahan batalyon di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil disebut akan melanggar ketentuan Pasal 4.7–4.11 MoU Helsinki, yang membatasi kehadiran militer di Aceh maksimal 14.700 personel. Dengan 13 batalyon aktif saat ini, masuknya empat satuan tambahan jelas dianggap problematik.

Kontroversi Peran Ganda TNI

Tak hanya soal jumlah pasukan, substansi program BTP sendiri juga dikritisi. Setiap batalyon dirancang memiliki Kompi Pertanian, Kompi Peternakan, bahkan Kompi Kesehatan. Ini memicu kekhawatiran akan lahirnya kembali praktik Dwifungsi ABRI, di mana TNI mengintervensi urusan sipil.

“Yang dibutuhkan Aceh adalah kesejahteraan, bukan tambahan pasukan. Kami minta dialog terbuka untuk menghindari kesalahpahaman,” seru Ketua Front Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan (FOMAPAK), Tarmizi, Kamis (1/5/2025).

Senada, Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman Haji Uma, menilai kondisi keamanan Aceh sudah stabil. Menurutnya, ketimbang menambah batalyon baru, pemerintah seharusnya memprioritaskan peningkatan kualitas personel dan kesejahteraan rakyat.

Soft Power TNI: Ambisi dan Realitas

Kementerian Pertahanan mempromosikan BTP sebagai “pasukan melawan kelaparan”, bentuk soft power militer untuk meredam kemiskinan dan mempercepat pembangunan. Namun, bagi banyak pihak di Aceh, langkah ini justru berpotensi menggerus kepercayaan terhadap komitmen damai pemerintah pusat.

“Jika tujuannya ketahanan pangan, seharusnya dikelola dinas terkait, bukan TNI. Ini berisiko memicu militerisasi sektor sipil,” kritik Azharul Husna dari KontraS Aceh.

Di sisi lain, Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Niko Fahrizal, menyampaikan bahwa keberadaan BTP di Aceh justru akan mempererat hubungan antara TNI dan masyarakat. Ia mencontohkan rencana pendampingan petani dan pemanfaatan lahan tidur untuk mendukung program swasembada pangan.

Jalan Tengah: Reformulasi, Bukan Penolakan Total?

Situasi ini mencerminkan dilema antara kebutuhan pembangunan dan komitmen perdamaian. Satu sisi, TNI ingin bertransformasi menjadi kekuatan produktif yang relevan dengan tantangan zaman. Di sisi lain, pengalaman traumatis masyarakat Aceh dan sensitivitas terhadap kehadiran militer harus dihormati sebagai bagian dari rekonsiliasi yang belum tuntas.

Solusinya mungkin bukan sekadar menolak atau menerima. Pemerintah pusat dan TNI bisa membuka ruang dialog dengan masyarakat Aceh, menawarkan reformulasi: mempertahankan fungsi produktif TNI tanpa harus memperbanyak jumlah batalyon. Misalnya, memperkuat peran Koramil dan Babinsa yang sudah ada, atau bermitra dengan dinas daerah melalui program lintas sektor.

Membangun bangsa tak harus dengan senjata di pundak. Di tanah bekas luka seperti Aceh, menjaga damai bisa jadi adalah bentuk pembangunan paling mulia.[]

Editor : Ikbal Fanika
inisiatifberdampak
Tutup