Publikasi Bukan Pencitraan, Tapi Kebutuhan Birokrasi Modern
“Yang penting kerja, tidak perlu pencitraan,” adalah narasi lama yang kini terdengar usang. Bekerja dalam senyap mungkin terdengar mulia, namun dalam konteks pelayanan publik, justru berbahaya. Ketika publik tidak tahu apa yang sedang dikerjakan pemerintah, maka ruang publik akan diisi oleh spekulasi, kritik tak berdasar, bahkan disinformasi.
INISIATIF.CO, Banda Aceh – Di era keterbukaan informasi saat ini, publikasi bukan lagi pelengkap birokrasi, melainkan kebutuhan mendasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Sayangnya, tidak semua instansi memahami urgensi ini.
Banyak lembaga pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun pusat, yang masih terjebak dalam pola pikir birokratik lama; tertutup, pasif, dan kurang peduli pada persepsi publik. Akibatnya, kinerja yang sebenarnya baik justru luput dari perhatian masyarakat. Di sisi lain, kebijakan yang minim disosialisasikan menjadi rentan disalahpahami atau bahkan ditolak.
Padahal, public relations atau kehumasan memiliki fungsi strategis dalam menjembatani institusi dan masyarakat. Humas yang ideal tidak sekadar memproduksi siaran pers atau menghadiri seremoni, tetapi menjadi alat kendali narasi yang efektif, edukatif, dan membangun kepercayaan publik.
Dalam teori komunikasi organisasi, seperti yang dikemukakan oleh James E. Grunig dalam Excellence Theory, fungsi humas dalam organisasi idealnya bersifat dua arah simetris. Artinya, bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membuka ruang dialog antara institusi dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, masih banyak instansi pemerintahan yang menempatkan humas hanya sebagai fungsi pelengkap administratif, bukan sebagai bagian dari sistem manajerial strategis.
Kenyataannya, banyak kepala dinas atau pimpinan lembaga tidak memahami fungsi ini secara utuh. Mereka abai terhadap pentingnya persepsi masyarakat, menganggap citra hanyalah urusan kosmetik. Ini keliru besar. Citra publik yang positif bukan hanya soal pencitraan, melainkan cerminan dari kinerja yang dikomunikasikan secara transparan dan tepat sasaran.
Ambil contoh sebuah dinas teknis di tingkat kabupaten yang sebenarnya memiliki capaian signifikan dalam peningkatan pelayanan publik berbasis digital. Namun karena nihilnya publikasi dan lemahnya komunikasi eksternal, inovasi tersebut tidak dikenal masyarakat luas. Bahkan, alih-alih diapresiasi, masyarakat menilai instansi tersebut stagnan, tidak progresif, dan tidak transparan.
Sebaliknya, di daerah tetangga, sebuah dinas dengan capaian serupa namun aktif menjalin kerjasama media, baik melalui rilis, advertorial, maupun konferensi pers mendapat pengakuan publik yang baik. Dampaknya, bukan hanya kepercayaan publik meningkat, tetapi semangat kerja di internal instansi juga terdongkrak. Pegawai merasa kerja keras mereka dihargai dan diketahui masyarakat.
Hal ini sejalan dengan temuan dalam riset Harvard Kennedy School, bahwa perceived performance atau persepsi publik terhadap kinerja, dapat berdampak langsung pada morale dan efektivitas kerja birokrasi. Publikasi yang baik bisa menjadi penguat etos kerja.
Bekerja Diam-diam Itu Tidak Lagi Relevan
“Yang penting kerja, tidak perlu pencitraan,” adalah narasi lama yang kini terdengar usang. Bekerja dalam senyap mungkin terdengar mulia, namun dalam konteks pelayanan publik, justru berbahaya. Ketika publik tidak tahu apa yang sedang dikerjakan pemerintah, maka ruang publik akan diisi oleh spekulasi, kritik tak berdasar, bahkan disinformasi.
Kerja-kerja institusi negara harus dilihat, dibaca, dan dirasakan. Di sinilah media berperan penting. Apakah melalui rilis resmi, advertorial, atau kerjasama strategis, semua sah dan sahih, selama transparan dan sesuai etika jurnalistik. Sayangnya, pola kerjasama media pun seringkali dianggap beban, bukan investasi komunikasi. Ini terjadi karena kurangnya pemahaman manajerial dari para pimpinan birokrasi.
Pemimpin yang baik tidak hanya menargetkan output teknis, tapi juga mengelola persepsi dan komunikasi. Mereka paham bahwa publikasi bukan pemborosan, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan profesional untuk memastikan publik tahu dan mendukung kerja pemerintah.
Sudah saatnya paradigma lama ditinggalkan. Humas bukan sekadar pelengkap, media bukan musuh yang perlu dihindari, dan publikasi bukan sekadar formalitas. Di tengah arus informasi yang begitu cepat dan luas, diam bukanlah emas.
Instansi yang tidak hadir di ruang publik akan dilupakan. Dan yang lebih parah, kerja baik yang tak dikabarkan bisa dianggap tak pernah dilakukan. Maka, reformasi birokrasi seharusnya juga mencakup reformasi komunikasi.
Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang terbuka, komunikatif, dan sadar bahwa legitimasi kebijakan hari ini sangat ditentukan oleh seberapa baik ia dikabarkan dan dipahami oleh publik. (Tim Redaksi).