Perjuangan Tanpa Batas: Aksi Heroik Teuku Ben Mahmud Membantu Sisingamangaraja XII
INISIATIF.CO, Blangpidie – Ketika sejarah mencatat perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Tanah Batak, nama Sisingamangaraja XII berdiri sebagai simbol tertinggi. Namun, di balik kekuatan dan keteguhan perjuangan sang Raja Batak, berdiri pula sosok lain yang tak kalah penting namun kerap terlupakan:l, yakni Teuku Ben Mahmud, pahlawan besar Perang Aceh dari Blangpidie.
Peran Teuku Ben Mahmud dalam fase akhir perjuangan Sisingamangaraja XII bukan sekadar cerita bantuan militer. Ia adalah wujud nyata dari persaudaraan lintas etnis dan perjuangan yang tidak mengenal batas wilayah.
Persahabatan antara Teuku Ben Mahmud dan Patuan Bosar (Sisingamangaraja XII) dimulai sejak muda, ketika Sang Raja Batak mengunjungi wilayah Keumala di Aceh untuk berlatih strategi perang selama tiga bulan. Dilatih oleh elite militer Aceh termasuk Tuwanku Hasyim Banta Muda, yang disebut “war leader” oleh Anthony Reid. Dari hubungan itu lahirlah sebuah ikatan batin, yang kelak berkembang menjadi aliansi perjuangan melawan Belanda.
Ketika perlawanan Sisingamangaraja XII memasuki babak kritis, bala bantuan dari Aceh datang. Sejarah mencatat sebuah momen penting sebagaimana tertulis dalam buku “Teuku Bentara Mahmud Setia Radja: Pahlawan Besar Perang Aceh”, bahwa:
Pada awal tahun 1907, Belanda mendapat laporan bahwa dari Tapaktuan telah berangkat sebuah pasukan orang Aceh yang dipimpin oleh Teuku Ben Blangpidie (Teuku Bentara Mahmud) untuk menemui laskar Sisingamangaraja XII di pegunungan dekat sungai Cenendang, Singkil. Pasukan Teuku Ben Mahmud tersebut datang melalui Negeri Simsim, Pakpak Bharat. Belanda juga mendapat laporan bahwa beberapa fasilitas kolonial Belanda di area tersebut dibakar oleh pasukan Teuku Ben Mahmud.
Laporan tersebut menegaskan peran aktif dan berani dari Teuku Ben Mahmud dalam mengacaukan dominasi kolonial Belanda di kawasan Batak. Ia bukan hanya datang membawa pasukan, tetapi juga menjalankan strategi pengalihan dan pembalasan terhadap simbol-simbol kolonial di pedalaman.
Kedatangan pasukan Teuku Ben Mahmud dengan membawa sekitar 150 orang pejuang Gayo dan Alas ke wilayah Sungai Cinendang tidak hanya memperkuat pertahanan fisik, tetapi juga memperbesar keyakinan rakyat bahwa perjuangan ini bukan milik satu daerah, melainkan milik semua bangsa yang terjajah.