ANTINARKOBA

Mus Seudong: Keputusan Soal 4 Pulau Sengketa Bisa Jadi Bom Waktu

Tgk Mustiari (Mus Seudong).

INISIATIF.CO, Blangpidie – Keputusan Menteri Dalam Negeri yang mengalihkan empat pulau sengketa ke wilayah Sumatera Utara menuai kritik tajam dari berbagai tokoh Aceh. Salah satu suara lantang datang dari Imum Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah 013 Blangpidie, Tgk. Mustiari atau yang akrab disapa Mus Seudong.

Ia menyebut Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 sebagai keputusan yang cacat secara formil dan berpotensi menimbulkan konflik baru di wilayah yang pernah dilanda konflik bersenjata panjang.

“Empat pulau itu secara historis bagian dari Aceh. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956, Aceh telah ditetapkan sebagai provinsi yang terpisah dari Sumatera Utara. Keputusan ini tidak hanya melukai hati rakyat Aceh, tapi juga membuka luka lama yang telah lama kita coba sembuhkan,” kata Mustiari saat ditemui di Blangpidie, pada Jumat, (13/6/2025) malam.

Keempat pulau yang dimaksud yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil. Selama ini, status keempat pulau tersebut menjadi sengketa antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Namun, Kepmendagri terbaru menetapkan bahwa keempatnya secara administratif masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Pemerintah Pusat meresmikan keputusan itu melalui pemberian dan pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau pada 25 April 2025.

Keputusan tersebut langsung memicu gelombang protes. Mustiari menilai langkah Pemerintah Pusat sebagai bentuk tindakan sepihak yang mengabaikan proses konsultasi dengan pemerintah Aceh dan masyarakat adat yang memiliki klaim historis atas wilayah tersebut.

“Ini bukan soal garis di peta. Ini soal harga diri, sejarah, dan identitas. Pemerintah jangan sembrono mempermainkan batas wilayah yang punya muatan emosional dan historis bagi masyarakat Aceh,” tegas pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua I DPRK Aceh Barat Daya itu.

Perselisihan mengenai keempat pulau ini sudah berlangsung lebih dari dua dekade. Pemerintah Provinsi Aceh berkali-kali menyodorkan dokumen hukum dan peta kolonial sebagai bukti yuridis bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari Aceh.

Sementara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berdalih hasil survei terbaru Kemendagri menunjukkan posisi geografis keempat pulau lebih dekat ke wilayah Tapanuli Tengah.

Namun, menurut Mustiari, argumen jarak geografis tak bisa menjadi dasar tunggal dalam penentuan batas administrasi. Ia menekankan pentingnya menghormati hukum positif, terutama UU Nomor 24 Tahun 1956, yang secara tegas menetapkan batas wilayah Provinsi Aceh.

“Jangan sampai kelalaian administrasi pusat menyalakan kembali api konflik. Ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal menjaga ketenangan dan stabilitas masyarakat yang sudah puluhan tahun hidup dalam damai,” ujarnya.

Mus Seudong juga mengingatkan bahwa sengketa wilayah semacam ini harus diselesaikan secara hati-hati, terutama di Aceh yang memiliki sejarah panjang perjuangan dan luka konflik yang belum sepenuhnya sembuh.

“Kalau Pemerintah Pusat terus mengambil langkah sepihak, jangan salahkan kalau kepercayaan masyarakat Aceh kembali terkikis. Ini bisa jadi bom waktu,” tutupnya.[]

Editor : Yurisman
Tutup