Jangan Sakiti Lagi Hati Rakyat, Demokrasi Bisa Runtuh Gara-Gara Flexing Elite
INISIATIF.CO, Jakarta – Pasca gelombang unjuk rasa pada Agustus lalu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kini seperti berjalan di atas tali tipis. Setiap kata yang terlontar dari mulut mereka bisa menjadi bensin yang menyulut api kemarahan rakyat.
Kekacauan besar yang melanda Indonesia pada Agustus 2025, ditandai dengan unjuk rasa massal yang berujung kerusuhan dan penjarahan di berbagai kota, bukanlah kebetulan. Ia lahir dari luka kesenjangan ekonomi yang menganga, diperparah oleh sikap hedonisme, sombong, dan pamer hidup mewah (flexing) para pejabat dan elite politik.
Dan kini, di Nepal, skenario serupa kembali terulang, menjadi cermin pahit bagi kita semua. Saatnya DPR belajar berhati-hatidalam mengungkapkan pendapat di muka umum, utamakan empati dan simpati saat muncul di ruang publik. Jangan sampai kata-kata mereka justru melukai hati rakyat yang sudah terluka. Dari tragedi ini, bangsa Indonesia harus mengambil hikmah, menuju kematangan yang lebih dewasa, bijak, dan saling menghargai sesama.
Mari kita mundur sejenak ke Agustus 2025, bulan yang kelam bagi demokrasi kita. Pada 25 Agustus, gelombang protes besar-besaran meletus di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota-kota lain. Awal mula? Pengumuman tunjangan baru bagi anggota DPR senilai Rp 50 juta per bulan, ditambah tunjangan beras Rp 12 juta dan fasilitas mewah lainnya. Saat rakyat bergulat dengan inflasi pangan yang melonjak dan upah minimum yang tak kunjung naik, para legislator justru merayakannya dengan joget-joget di media sosial, pamer mobil dinas, dan pesta mewah.
Kontroversi ini memicu amarah yang terpendam, kesenjangan ekonomi yang ekstrem. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Gini Ratio Indonesia mencapai 0,388 pada 2024, menandakan ketimpangan yang semakin lebar. Sepuluh persen orang terkaya menguasai 30% kekayaan nasional, sementara 40% termiskin berjuang bertahan di bawah garis kemiskinan.
Di tengah itu, anggota DPR dengan gaji Rp 100 juta lebih per bulan dan tunjangan kumulatif mencapai miliaran rupiah, tampil sombong, “Rakyat harus paham, ini hak kami,” kata salah satu legislator dalam wawancara yang viral.
Bukan hanya pamer materi, tapi juga kata-kata kasar yang melukai. Seorang anggota DPR dari fraksi tertentu menyebut demonstran sebagai “massa anarkis yang tak berpendidikan,” sementara yang lain mengejek, “Mereka iri karena kami sukses.”
Pernyataan ini bukan sekadar slip of tongue (kepeleset lidah) ia mencerminkan sikap arogan yang lahir dari hedonisme elite. Hedonisme di sini bukan hanya gaya hidup boros (seperti liburan ke Eropa dengan dana APBN atau koleksi jam tangan mewah) tapi juga mentalitas “kami vs mereka.”
Saat rakyat kesulitan membeli beras, DPR membahas kenaikan pajak 2,5% yang membebani UMKM. Hasilnya? Kerusuhan pecah, gedung DPRD dibakar di Makasar, toko-toko dijarah, dan setidaknya 15 korban jiwa dilaporkan. Ekonom dari CORE Indonesia menilai, “Ketidakadilan ekonomi adalah akar utama. Rakyat merasa dikhianati oleh wakilnya sendiri.” Ini bukan demo biasa, ini ledakan emosi dari rakyat yang merasa diabaikan.
Kini, lihatlah Nepal, negara tetangga kita yang sedang bergulat dengan badai serupa. Sejak 5 September 2025, Kathmandu dan kota-kota besar Nepal dilanda protes besar-besaran yang dipimpin generasi Z. Awalnya dipicu pemblokiran media sosial oleh pemerintah, tapi akar masalahnya sama, kesenjangan ekonomi dan sikap sombong elite.
Di Nepal, 20% penduduk hidup dalam kemiskinan ekstrem, sementara 10% elite menguasai tiga kali lipat pendapatan 40% rakyat miskin. Keluarga pejabat sering “flexing” di Instagram, pesta mewah, mobil mewah, sementara rakyat bergulat dengan banjir dan pengangguran. Puncaknya, pada 9 September, Menteri Keuangan dikejar massa, ditelanjangi, dan dilempar ke sungai; Menteri Luar Negeri dibogem demonstran. Perdana Menteri K.P. Sharma Oli dan bahkan Presiden mundur di tengah people power yang mengguncang.
Media internasional seperti Reuters menyoroti ini ironis ketimpangan di balik kerusuhan, demo Nepal mirip Indonesia. Generasi muda Nepal menuntut pengunduran diri massal pejabat karena korupsi dan hedonisme yang tak terkendali. Bukan kebetulan jika pola ini mirip, di mana pun kesenjangan dibiarkan membusuk, ditambah sombong dan pamer elite, kekacauan pasti meledak.
Mengapa hal ini krusial bagi DPR kita? Karena kata-kata adalah senjata paling ampuh dalam politik. Di era media sosial, satu tweet atau video bisa viral dalam hitungan menit, memperlebar jurang antara elite dan rakyat. Argumentasi sederhana, empati adalah kunci.
Empati berarti merasakan penderitaan rakyat bukan menghina mereka sebagai “pengganggu.” Saat muncul di depan publik, anggota DPR harus ingat mandatnya, wakil rakyat, bukan tuan. Simpati, pula, berarti menunjukkan solidaritas, seperti turun ke lapangan mendengarkan keluhan buruh atau petani, bukan pamer di acara gala. Data menunjukkan, negara-negara dengan indeks kepercayaan publik tinggi, seperti Denmark (Gini Ratio 0,27), berhasil karena elite politik yang empati. Di Indonesia, survei LSI pada 2025 mencatat kepercayaan terhadap DPR anjlok ke 45% pasca-Agustus, terendah sejak 2019. Jika DPR terus bicara kasar “rakyat harus sabar” ia hanya mempercepat kehancuran demokrasi.
Hedonisme dan sombong bukan hanya isu moral melainkan struktural. Kesenjangan ekonomi Indonesia mencapai titik kritis, PDB per kapita Rp 70 juta per tahun, tapi 25 juta orang miskin. Sementara DPR punya fasilitas jet pribadi, rakyat bergantung transportasi umum yang amburadul. Pamer seperti video anggota DPR joget sambil bilang “hidup ini untuk dinikmati” di tengah krisis pangan, adalah resep bencana.
Psikolog politik Dr. Andi Widjajanto menjelaskan “Sikap arogan ini memicu efek domino, rakyat merasa tak dihargai, berujung kekerasan.” Di Nepal, flexing keluarga pejabat jadi pemicu utama kemarahan Gen Z. Begitu pula di Indonesia, kontroversi Nafa Urbach dan Ahmad Sahroni yang pamer kemewahan, memicu tragedi Affan Kurniawan di demo 29 Agustus. Lima anggota DPR bahkan dinonaktifkan partainya karena ucapan yang dianggap menghina rakyat.
Dari kekacauan ini, hikmah yang harus kita ambil adalah kematangan bangsa. Indonesia, yang merdeka 80 tahun lalu, tak boleh lagi terjebak siklus protes-kerusuhan. Agustus 2025 dan Nepal sekarang mengajarkan, kesenjangan harus diatasi dengan kebijakan redistribusi, seperti pajak progresif untuk elite dan subsidi tepat sasaran untuk rakyat kecil.
DPR harus bijak, hati-hati bicara, prioritaskan dialog empati. Wakil rakyat seperti Jusuf Kalla (JK) sudah mengingatkan, “Jangan bicara asal dan hina masyarakat.” Rakyat pun harus dewasa, protes damai, bukan anarkis. Saling menghargai sesama berarti elite turun tahta ego, rakyat naik derajat aspirasi. Bayangkan Indonesia 2030, bangsa yang bijak, di mana DPR bicara dengan hati, rakyat mendengar dengan telinga terbuka. Ini bukan mimpi, ini keharusan.
Sekali lagi, anggota DPR hati-hati bicara, jangan melukai hati rakyat. Kesenjangan, hedonisme, sombong, dan pamer telah membakar Indonesia dan Nepal, jangan biarkan api itu padam sia-sia. Ambil hikmah, bangsa kita harus semakin dewasa, bijak, dan saling menghargai. Hanya dengan empati dan simpati, kita bisa bangun Indonesia yang adil dan makmur. Semoga![]