Gelombang Penolakan Batalion Baru, Mus Seudong Minta Pemerintah Patuhi MoU Helsinki
INISIATIF.CO, Blangpidie – Wakil Ketua I Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat Daya, Tgk Mustiari atau akrab disapa Mus Seudong, mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar kembali menelaah butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 lalu.
Menurutnya, salah satu poin krusial dalam kesepakatan damai tersebut adalah pembatasan jumlah pasukan TNI dan Polri di Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 4.9 MoU Helsinki.
Desakan ini ia sampaikan menyusul rencana penambahan batalion baru di Aceh yang menuai penolakan luas. Mus Seudong menegaskan, kebijakan itu bukan hanya berpotensi melanggar MoU, tetapi juga bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah pusat menjaga perdamaian.
“Pemerintah harus baca kembali MoU Helsinki itu. Jangan setelah berjanji lalu diingkari. Dalam pasal 4.9 sudah jelas diatur jumlah maksimal TNI dan Polri yang boleh ditempatkan di Aceh. Jika ada penambahan batalion, itu jelas bertentangan dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani bersama,” tegas Mus Seudong, Selasa (2/9/2025).
Kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia, menjadi tonggak berakhirnya konflik panjang antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Salah satu poin utamanya adalah normalisasi jumlah pasukan keamanan.
Dalam Pasal 4.9 disebutkan, jumlah maksimal pasukan non-organik yang boleh ditempatkan di Aceh adalah 14.700 personel TNI dan 9.100 personel Polri, termasuk Brimob. Di luar itu, hanya diperbolehkan pasukan organik yang memang bertugas di Aceh sebagai bagian struktur normal pemerintahan daerah.
Mus Seudong mengingatkan, ketentuan tersebut lahir dari pengalaman pahit masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. “MoU ini dibuat untuk memastikan rakyat bisa hidup damai tanpa tekanan militer,” katanya.
Ia juga merujuk laporan Aceh Monitoring Mission (AMM) pada 2005–2006, di mana pemerintah RI menarik lebih dari 25 ribu pasukan non-organik secara bertahap hingga jumlah personel sesuai kesepakatan. “Artinya, pemerintah pernah menepati janji itu. Maka wacana penambahan batalion sekarang justru langkah mundur,” ujar Mus Seudong.
Sikap Mus Seudong sejalan dengan Ketua DPRA, Zulfadli alias Abang Samalanga, yang sehari sebelumnya menolak rencana pembangunan lima batalion TNI di Aceh. Di hadapan ribuan massa aksi di Banda Aceh, Zulfadli menegaskan bahwa suara rakyat adalah amanat tertinggi.
“DPRA menolak penambahan batalion di Aceh. Kami akan bersama DPR RI mengawal aspirasi rakyat sebagai tanggung jawab konstitusional,” kata Zulfadli. Ia bahkan menandatangani deklarasi bersama massa aksi yang berisi tujuh tuntutan menjaga perdamaian Aceh.
Menurut Mus Seudong, kebijakan penambahan pasukan berpotensi mengkhianati semangat perdamaian dan membuka kembali luka lama.
“Jangan sampai rakyat Aceh merasa dikhianati. Perdamaian ini kita jaga dengan susah payah, jangan dirusak hanya karena keputusan politik yang tidak bijak. MoU Helsinki itu bukan sekadar dokumen, melainkan perjanjian internasional,” tegasnya.
Gelombang penolakan terhadap rencana tersebut tidak hanya datang dari tokoh politik, tetapi juga dari mahasiswa, aktivis, hingga masyarakat sipil. Mereka khawatir bayang-bayang militerisme kembali hadir di Tanah Rencong.
Hingga kini, pemerintah pusat belum memberikan penjelasan resmi terkait alasan penambahan batalion. Namun, berbagai kalangan berharap kebijakan itu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan psikologis masyarakat.
Mus Seudong menekankan, meski MoU Helsinki bukan undang-undang, namun substansinya sudah diadopsi ke dalam UU Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.
“Jika dilanggar, itu bukan hanya mengingkari rakyat Aceh, tapi juga melanggar hukum positif yang berlaku,” katanya.
Dua dekade setelah MoU Helsinki, Aceh masih menjadi contoh keberhasilan resolusi konflik di dunia. Namun, kata Mus Seudong, mempertahankan perdamaian membutuhkan konsistensi semua pihak, khususnya pemerintah pusat, agar tidak mengeluarkan kebijakan yang justru menimbulkan kecurigaan dan keresahan.[]