Express Bahari dan Arogansi Kapital
INISIATIF.COÂ – Insiden tertinggalnya pasien stroke rujukan darurat oleh kapal cepat Express Bahari di Sabang bukan sekadar persoalan teknis, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab moral. Ketika nyawa manusia dipertaruhkan, otoritas kapal seharusnya berpegang pada prinsip dasar kemanusiaan, keselamatan jiwa harus menjadi prioritas tertinggi, mengalahkan segala bentuk tekanan eksternal, termasuk ancaman gugatan atau kepentingan pribadi penumpang.
Konsep utilitarianisme kerap dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan publik, dengan prinsip “manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang”. Namun, dalam konteks darurat medis, prinsip ini harus ditafsirkan secara hati-hati. Menyelamatkan satu nyawa yang berada dalam kondisi kritis (seperti pasien stroke yang hanya memiliki waktu 3-6 jam untuk penanganan optimal) adalah tindakan yang secara moral lebih bernilai daripada memenuhi kepentingan satu penumpang yang khawatir kehilangan tiket penerbangan. Keterlambatan penumpang tersebut, meski berpotensi merugikan secara finansial, tidak dapat disetarakan dengan risiko kematian atau kecacatan permanen yang dihadapi pasien.
Contoh nyata dari maskapai Emirates pada 2019 patut dijadikan pembelajaran. Penerbangan sengaja ditunda 1,5 jam untuk mengangkut jantung donor, karena nyawa penerima transplantasi dianggap lebih penting daripada ketepatan jadwal. Ini membuktikan bahwa fleksibilitas dalam situasi darurat bukan hanya mungkin, tetapi juga wajib secara etis.
Sayangnya, dalam kasus Express Bahari, otoritas kapal justru mengabaikan kesepakatan yang telah dibuat sejak 2023 antara BKK Sabang dan agen pelayaran, yaitu memberikan toleransi waktu 10-15 menit bagi pasien rujukan. Keputusan untuk berangkat sebelum pasien tiba tidak hanya melanggar komitmen internal, tetapi juga bertentangan dengan semangat konvensi maritim internasional seperti SOLAS (Safety of Life at Sea), yang menegaskan bahwa keselamatan jiwa manusia adalah hukum tertinggi di laut. Pelanggaran ini memperlihatkan kelemahan dalam penegakan regulasi dan akuntabilitas operator kapal.