HUT RI Ke 80

Evaluasi DPR, Reformasi Polri, Selamatkan Indonesia Sekarang!

Gedung Parlemen Senayan, Jakarta Pusat. (Foto: Dok. DPR RI).

INISIATIF.CO – Di tengah gejolak sosial yang semakin memanas pada akhir Agustus hingga awal September 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada tuntutan rakyat yang tak bisa lagi diabaikan.

Demonstrasi massal di berbagai kota, dari Jakarta hingga Lampung, bukan hanya ekspresi kekecewaan atas kenaikan tunjangan DPR yang dinilai tidak sensitif terhadap penderitaan ekonomi rakyat, tapi juga panggilan mendesak untuk evaluasi menyeluruh terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan reformasi total Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Kejadian tragis seperti kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang ditabrak kendaraan polisi selama demo, semakin memperburuk citra kedua lembaga ini. Jika pemerintah tidak segera bertindak, Indonesia berisiko terjerumus ke dalam krisis demokrasi yang lebih dalam, di mana kepercayaan publik terhadap institusi negara runtuh total, membuka jalan bagi instabilitas nasional.

Krisis di DPR telah mencapai titik kritis. Delapan fraksi DPR RI, termasuk dari Partai Demokrat dan PAN, secara terbuka menyatakan kesediaan untuk mengevaluasi dan bahkan mencabut tunjangan perumahan serta fasilitas lain yang dinilai melukai rasa keadilan masyarakat.

Ketua DPR Puan Maharani bahkan meminta maaf secara publik dan berjanji melakukan evaluasi kinerja anggota DPR, menyusul demo berhari-hari yang berujung ricuh. Desakan ini datang dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa GMNI dan PMKRI yang menuntut pemecatan anggota DPR yang tidak pro-rakyat, pengesahan UU Perampasan Aset, serta pembersihan kabinet dan parlemen.

Statement tokoh-tokoh nasional semakin memperkuat tuntutan ini. Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menolak tunjangan DPR, menekankan bahwa situasi saat ini belum tepat untuk fasilitas mewah tersebut. Muhaimin Iskandar melihat demo sebagai momentum evaluasi gaji dan tunjangan dewan, sekaligus pintu masuk reformasi kelembagaan. Bahkan Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungan untuk evaluasi DPR dan langkah partai menonaktifkan anggota yang memicu polemik, termasuk pencabutan kebijakan tunjangan mulai 1 September 2025.

Di media sosial X, opini publik seperti dari akun @avicenadharma menyoroti kegagalan pemerintah memahami inti tuntutan, di mana evaluasi besar-besaran atas kinerja dan tunjangan pejabat menjadi kunci penyelesaian. Massa di Palembang dan Malang juga menuntut reformasi DPR, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap DPR RI dan Polri. Sentimen negatif ini mencapai puncak dengan desakan pembubaran DPR, meski para pengamat menilai hal itu bukan solusi, melainkan evaluasi sistemik yang diperlukan.

Sementara itu, desakan reformasi Polri tak kalah mendesak, terutama setelah insiden kekerasan dalam penanganan demo. Koalisi masyarakat sipil seperti ICJR dan KontraS menyoroti kegagalan sistemik Polri, di mana reformasi jangan sekadar mantra tapi harus membenahi budaya kekerasan dan impunitas.

Pada Hari Bhayangkara ke-79, 1 Juli 2025, momentum ini seharusnya menjadi titik balik reformasi Polri, bukan seremoni belaka. Aliansi Perempuan Indonesia mendesak Presiden Prabowo untuk reformasi menyeluruh, termasuk memberhentikan Kapolri dan Kapolda yang gagal menjaga keamanan rakyat. Data dari KontraS mencatat Polri sebagai pelaku pelanggaran kebebasan sipil terbanyak pada 2025, dengan 52 kasus, jauh di atas TNI. Kemudian kritik juga datang dari akademisi yang menilai reformasi Polri gagal, di mana aparat masih jadi alat kuasa dan modal, bukan pelindung masyarakat.

Pemberitaan tentang RUU Polri yang kontroversial semakin memperburuk situasi. RUU ini dinilai bisa menjadikan Polri sebagai lembaga superbody, dengan wewenang penyadapan tanpa izin pengadilan dan pengawasan siber yang berpotensi menargetkan kritikus.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian memperingatkan bahwa tanpa penguatan pengawasan seperti Kompolnas, Polri berisiko mundur ke era otoritarianisme.

Di X, tuntutan seperti dari akun @Naz_lira menekankan reformasi rekrutmen partai, penghapusan hak recall, dan transparansi anggaran untuk DPR, sementara untuk Polri, desakan copot Kapolri dan evaluasi institusi mendominasi. Pengamat seperti dari Project Multatuli menyoroti empat akar masalah Polri: warisan Orde Baru, penggelembungan wewenang, minim pengawasan, dan impunitas.

Jika DPR dan Polri tidak segera dievaluasi dan direformasi, Indonesia berada di ambang kehancuran. Krisis kepercayaan ini bukan sekadar demo sementara, tapi ancaman nyata terhadap fondasi demokrasi. DPR yang korup dan tidak empati akan memperlemah legislasi pro-rakyat, sementara Polri yang represif bisa memicu kekerasan lebih luas, seperti yang terlihat dalam laporan Al Jazeera tentang evaluasi penanganan aksi massa. Bayangkan jika rakyat kehilangan harapan: instabilitas ekonomi, polarisasi sosial, dan bahkan kemunduran ke era Orde Baru di mana kebebasan sipil dibungkam.

Presiden Prabowo, dengan janjinya mendengar aspirasi, harus bertindak tegas, copot Kapolri, reshuffle menteri bermasalah, cabut kebijakan anti-rakyat seperti tunjangan DPR, dan dorong reformasi total. Jangan biarkan Indonesia jatuh karena kelalaian lembaga negara, selamatkan negeri ini sekarang, atau kita semua akan menanggung akibatnya.

Reformasi bukan pilihan, tapi keharusan. Pemerintah harus membuka dialog dengan masyarakat, termasuk mahasiswa dan LSM, untuk membangun institusi yang transparan dan akuntabel. Hanya dengan evaluasi mendalam, Indonesia bisa bangkit sebagai negara yang adil dan sejahtera. Waktu semakin sempit, jangan tunggu gejolak berikutnya meledak. [Redaksi].

Editor : Ikbal Fanika
inisiatifberdampak
Tutup