Brain Rot dan Pembatasan Media Sosial pada Anak
*Oleh: Saiful Maarif
INISIATIF.CO – Kemerosotan otak, lazim dikenal dengan brain rot, sebagai akibat penggunaan konten daring bermutu rendah sehingga dapat memicu penurunan kondisi mental dan intelektual seseorang. Kondisi ini dapat lebih intens terjadi pada anak-anak karena kemampuan bernalar mereka yang belum matang. Belakangan, keprihatinan berbagai pihak akan penyalahgunaan gadget pada anak mendorong ide bagi pemerintah untuk mewujudkan langkah pembatasan penggunaan gawai pada anak.

Diksi brain rot mendominasi percakapan dunia sehingga Oxford University memilihnya menjadi World of The Year 2024. Ini merepresentasikan brain rot telah sedemikian rupa menjadi perbincangan dunia dan pembahasan yang mendalam oleh berbagai pihak. Brain rot mungkin kalimat usang, sudah dipopulerkan Henry David Thoreau ratusan tahun silam. Akan tetapi, yang usang itu mendadak menjadi sangat populer, terutama saat Oxford University menjadikannya Word of the Year 2024. Brain rot menyadarkan kita untuk bersegera beranjak dari konten konten receh yang sadar atau tidak sadar dikonsumsi tiap hari oleh anak-anak dalam bahasa media sosial yang berada di luar kuasa pikir mereka.
Disadari, kecanggihan pada gawai dan internet saat ini menjadi daya tarik bagi anak dan orang tua untuk berekspresi dan kemudahan dalam mengakses bermacam informasi, tidak terkecuali informasi yang memuat unsur negatif, semisal pornografi. Tidak adanya batasan antara ruang dan waktu dalam mengakses internet telah mengundang persoalan yang serius bahkan berbahaya pada anak seperti masalah hoax dan cyberbully (perundungan secara online).
Dalam konteks pendidikan, penggunaan gawai di kalangan anak patut mendapat perhatian bersama. Pasalnya, pemerintah dan masyarakat Indonesia memiliki kebijakan penggunaan gawai yang dalam beberapa hal menimbukan dilema. Satu sisi penggunaan gawai didorong dalam konteks pemanfaatan teknologi dan transformasi digital.
Dalam pandangan Rosenberg (2001), perkembangan penggunaan teknologi informasi dalam dunia pendidikan mengakibatkan terjadinya 5 (lima) pergeseran dalam proses pembelajaran, yaitu pola dari pelatihan ke penampilan, dari ruang kelas ke dimana dan kapan saja, dari kertas ke daring, dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan dari waktu siklus ke waktu nyata. Hal demikian menjadi pijakan dan tren pemanfaatan teknologi informasi (baca gadget) yang begitu masif di kalangan anak-anak.
Bila dirunut, pemanfaatan teknologi informasi secara luas marak dilaksanakan selama kondisi pandemi covid-19 berlangsung hingga kini. Penggunaan dan anjuran untuk pemanfataan teknologi informasi diyakini menjadi obat mujarab untuk menjembatani distraksi sosial yang berlangsung. Dengan pemanfataan teknologi informasi, beragam kesenjangan diyakini dapat diatasi dan mendapat solusi.
Namun demikian, di sisi lain penggunaan gawai dalam pendidikan di kalangan anak perlu ditinjau ulang mengingat beragam efek negatifnya. Hal ini dibuktikan dengan banyak temuan di beberapa survei. Indonesia Indicator melalui riset pada tahun 2024 bertajuk Tren Kekerasan Digital pada Anak, mencatat sepanjang 1 Januari hingga 21 Juli 2024, kekerasan digital pada anak di Indonesia menjadi salah satu isu yang diperbincangkan netizen (warganet). Menurut survei ini, jumlah unggahan kekerasan digital pada anak di media sosial mencapai 24.876 unggahan dengan jumlah tanggapan mencapai 3.004.014 engagement.
Temuan Survei
Riset ini juga menunjukkan, kasus penipuan online terhadap anak menempati urutan kedua dalam top engagement netizen, dengan statistik mencapai 912.325 engagement. Yang mengejutkan, pedofilia menjadi isu kekerasan digital pada anak dengan engagement tertinggi ketiga, mencapai 145.730. Sementara itu, judi online berada di posisi keempat dengan 65.255 engagement.
Riset Indonesia Indicator ini sejalan dengan simpulan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), yang menyebutkan bahwa tren kekerasan terhadap anak cenderung menanjak dalam lima tahun terakhir.
Pada 2019, Kominfo mencatat adanya kasus cyberbullying yang mencapai 2.000 kasus. Celakanya, hingga pertengahan tahun 2023 angkanya menyentuh lebih dari 4.000 kasus yang dapat ditemukan melalui survei mereka. Sementara itu, KPAI merekam data kasus eksploitasi seksual online yang melibatkan anak-anak juga mengalami lonjakan, yakni dari 1.200 kasus pada 2019 kemudian mencapai lebih dari 2.000 lebih kasus pada 2023.
Fakta tersebut sejalan dengan tren percakapan kekerasan digital di media sosial yang hampir selalu eksis sepanjang tahun 2024 sebagaimana temuan Komnas PA. Menurut temuan dalam survei ini, anak-anak telah demikian dekat dengan informasi seputar kekerasan digital yang mewarnai keseharian mereka. Mereka bukan hanya mengetahui tentang adanya kekerasan tersebut, namun juga turut menjadi pelaku dan korban. Data-data seperti ini tentu saja patut dicermati sebagai bagian dari penyalahgunaan gawai pada anak. Anak harus dilindungi dari kemungkinan buruk sebagai akibat dari penggunaan gawai secara berlebihan dan serampangan, meskipun mereka juga didorong untuk memanfaatkan gadget oleh pemerintah.
Kondisi penyimpangan penggunaan gawai pada anak yang mengkhawatirkan di atas sejatinya tidak cukup mengagetkan dari sudut izin penggunaannya. Survei Pengasuhan Anak di Era Digital pada Masa Pandemi oleh KPAI (2022) mengonfirmasi bahwa sebagian besar anak (79 persen) diizinkan menggunakan gadget selain untuk belajar. Selain itu, sebanyak 71,3 persen orang tua mengizinkan anak mereka memiliki gadget sendiri. Alasan diperbolehkannya anak untuk menggunakan dan mengizinkan kepemilikan gadget mereka sendiri mencerminkan pola pengasuhan orang tua yang instan dan malas berinteraksi dengan anak.
Di tingkat global, Parlemen Australia mengesahkan undang-undang yang melarang penggunaan media sosial oleh anak-anak di bawah 16 tahun pada ujung tahun kemarin. Majelis tinggi parlemen Australia mengesahkan Undang-Undang Keamanan Daring atau Online Safety Amendment Social Media Minimum Age Bill itu dengan perbandingan suara 34 mendukung berbanding 19 menolak. Dengan undang-undang ini, Australia resmi melarang anak-anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan X.
Melihat perbedaan pandangan dalam pengesahan beleid ini, disahkannya Online Safety Amendment Social Media Minimum Age Bill memang mengundang pro dan kontra. Pihak yang kontra melihat bahwa media sosial juga memiliki dampak positif, yakni memudahkan anak belajar hal-hal baru yang tak tersedia secara gamblang di buku seperti memasak atau membuat karya seni. Mereka bisa mendapatkan ilmu tersebut melalui tutorial di media sosial. Selain itu, mereka juga melihat bahwa media sosial mampu menjadi jembatan sosial untuk mendapatkan teman sehingga mereka tidak merasa terasing. Pendek kata, media sosial dipandang membantu tugas dan perkembangan anak secara signifikan.
Bagaimana dengan Indonesia? Kekhawatiran terhadap penggunaan gadget yang pada akhirnya mengarah ke media sosial, jelas didasarkan pada temuan ilmiah terkait. Data berbagai survei telah dengan gamblang tersaji yang menunjukkan tingkat adiksi pada gawai atau internet. Adiksi ini tidak boleh dibiarkan atau kita akan mengalami pembusukan akal atau brain rot.
Pada dasarnya, kita pun sudah melangkah ke arah tersebut dengan melakukan berbagai penjajakan ilmiah, di antaranya dengan menggagas naskah akademik Peta Jalan Perlindungan Indonesia di Internet pada tahun 2017 oleh Kominfo. Dibutuhkan keberanian dan kesadaran lebih lanjut untuk mewujukan perlindungan anak secara online dalam bentuk larangan penggunaan media sosial untuk kalangan umur anak-anak. Dasar ke arah itu sudah pernah dirintis sebelumnya.
*Penulis adalah Saiful Maarif, Asesor SDM Aparatur Kemenag dan Kasubtim Bina Akademik pada PTU Ditjen Pendidikan Islam.