Header INS Spirit

Album Nyawöung, Suara Luka Aceh yang Kembali Bergema di HUT Pidie

Cut Aja Rizka, vokalis utama album Nyawöung, tampil mengenang kisah pilu Aceh di tengah perayaan HUT Pidie ke-514, mengabadikan tragedi konflik bersenjata lewat musik yang pernah dibredel militer. (Foto: Harmayadi/INISIATIF.CO).

INISIATIF.CO, Sigli – Perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Pidie ke-514 tak hanya diwarnai semarak pesta rakyat, tetapi juga menghadirkan kembali kenangan pahit lewat karya musik yang pernah dibungkam, album dan kaset bertajuk Nyawöung.

Karya musik ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tercipta di tengah bara konflik bersenjata di Aceh yang mengguncang pada akhir 1990-an.

Proyek Nyawöung dikerjakan selama sekitar tiga bulan pada tahun 2000, setelah rangkaian peristiwa berdarah mengguncang Aceh pada 1999. Namun perjalanan album tersebut tidak mulus. Militer kala itu membredelnya karena dianggap terlalu gamblang mengabadikan realitas kelam yang sedang terjadi.

Salah satu lagu yang paling menyentuh dari album itu adalah Haro Hara. Lagu ini dibawakan oleh Cut Aja Rizka yang kala itu dipercaya menjadi vokalis utama. Baginya, menyanyikan lagu tersebut adalah sebuah tanggung jawab besar sekaligus beban moral.

“Lagu Haro Hara ini menceritakan langsung peristiwa yang terjadi, walaupun memang tidak diceritakan syairnya secara panjang atau dijelaskan, cuma disebut tempat saja, tetapi kita langsung terbayang,” ungkap Cut Aja Rizka.

Dalam bahasa Aceh, haro hara berarti huru-hara. Lagu ini menjadi potret getir Aceh yang kala itu luluh lantak oleh konflik bersenjata, diwarnai deretan tragedi kemanusiaan yang meninggalkan luka mendalam bagi rakyat.

Syair singkat dalam lagu itu menyebut sejumlah tempat yang identik dengan tragedi, mulai dari Arakundoe, Simpang KKA, Tengku Bantaqiah, hingga Rumoh Geudong. Penyebutan nama-nama itu saja sudah cukup membangkitkan memori kolektif masyarakat Aceh tentang duka besar yang mereka alami di penghujung abad ke-20.

Kini, setelah dua dekade lebih berlalu, Nyawöung tidak lagi sekadar dipandang sebagai sebuah album musik. Ia telah menjelma menjadi warisan ingatan kolektif, sebuah dokumentasi kultural tentang luka yang pernah menimpa tanah rencong. Sorotan terhadap karya musik ini dalam peringatan HUT Pidie ke-514 menjadi bukti bahwa seni dapat menjadi saksi sejarah.

Meski pernah dibungkam, Nyawöung kini kembali bergema, membawa pesan bahwa suara rakyat tidak bisa dipadamkan begitu saja. Melalui musik, luka dapat diingat, dihayati, sekaligus disembuhkan. Album ini menjadi pengingat bahwa perjalanan Aceh menuju damai hari ini dibayar mahal oleh darah dan air mata, yang suaranya pernah direkam dalam nada-nada sederhana namun penuh makna.[]

Editor : Yurisman
inisiatifberdampak
Tutup