20 Tahun Perdamaian Aceh, Simbol Bendera Masih Terganjal Restu Jakarta
Peringatan 20 tahun MoU Helsinki tahun ini menjadi momentum refleksi penting bagi seluruh pihak.
Mus Seudong menekankan bahwa peringatan tersebut tidak boleh berhenti pada seremoni dan serangkaian kegiatan simbolis, melainkan harus menjadi ajang untuk mengukur sejauh mana implementasi perjanjian telah dilakukan.
“Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak darah dan air mata rakyat Aceh yang menjadi harga dari perdamaian ini. Jangan biarkan poin-poin yang sudah disepakati terbengkalai. Pemerintah harus menunjukkan itikad baik,” katanya.
Mus Seudong mengaku siap mengawal perdamaian bersama para tokoh masyarakat dan mantan kombatan KPA, asalkan pemerintah pusat benar-benar menepati janji yang sudah tertulis dalam MoU.
Seharusnya, kata Mus Seudong, Pemerintah pusat menggelar dialog konstruktif dengan pihak Aceh untuk mencari titik temu terkait simbol daerah.
Menurutnya, pengakuan terhadap simbol Aceh adalah bagian dari penghormatan terhadap otonomi khusus yang telah disepakati.
Di kalangan masyarakat Aceh, isu bendera ini menjadi simbol lebih besar dari sekadar selembar kain. Ia adalah representasi dari janji yang belum ditepati.
“Kalau bendera saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana kita bisa percaya butir-butir lainnya akan dijalankan?, ini sudah 20 tahun, tapi bisa direalisasikan, kenapa?” tanya Mus Seudong.
Menutup pernyataannya, Mus Seudong menyerukan kepada pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh untuk duduk bersama mencari solusi yang adil dan menghormati kesepakatan.
Ia mengingatkan bahwa MoU Helsinki bukan hanya dokumen politik, tetapi juga perjanjian moral yang telah membawa Aceh dari konflik menuju perdamaian.
“Kami di Aceh akan terus mengawal perdamaian ini. Tapi kalau pemerintah ingkar janji, itu sama saja membuka luka lama. Jangan biarkan rakyat kembali kehilangan kepercayaan,” tegasnya.
MoU Helsinki lahir setelah konflik bersenjata berkepanjangan antara GAM dan pemerintah Indonesia yang menelan ribuan korban jiwa.
Perjanjian ini memuat 11 poin utama, termasuk penghentian permusuhan, penarikan pasukan non-organik, pembebasan tahanan politik, pembentukan partai politik lokal, serta pemberian hak untuk memiliki bendera dan lambang Aceh.