20 Tahun Perdamaian Aceh, Simbol Bendera Masih Terganjal Restu Jakarta
INISIATIF.CO, Blangpidie – Menjelang peringatan 20 tahun penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, Imum Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Blangpidie, Tgk. Mustiari atau yang akrab disapa Mus Seudong, menegaskan pentingnya komitmen pemerintah dalam menjalankan seluruh butir perjanjian damai tersebut.
Mus Seudong secara khusus menyoroti poin terkait pengakuan terhadap bendera Aceh, yang hingga kini masih menjadi polemik.
Ia mengingatkan bahwa perjanjian damai yang telah membawa Aceh keluar dari konflik bersenjata selama puluhan tahun harus dijalankan secara konsisten oleh semua pihak, termasuk pemerintah pusat.
“Pemerintah jangan khianati damai Aceh. MoU Helsinki adalah kesepakatan bersama yang telah disepakati di tingkat nasional dan internasional. Kita harus menghormatinya, termasuk soal bendera Aceh yang menjadi hak rakyat sesuai perjanjian,” tegas Mus Seudong saat ditemui di Blangpidie, Rabu (13/8/2025).
MoU Helsinki yang ditandatangani di Finlandia pada 15 Agustus 2005 memberikan Aceh otonomi khusus yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Salah satu pasal penting adalah hak Aceh untuk memiliki lambang dan bendera daerah sebagai simbol identitas kultural dan politik di bawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun, meskipun Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 telah mengatur tentang bendera dan lambang Aceh, implementasinya masih tertahan.
Pemerintah pusat belum memberikan persetujuan resmi, dengan alasan desain bendera Aceh memiliki kemiripan dengan bendera GAM, yang dikhawatirkan menimbulkan kontroversi politik.
Menurut Mus Seudong, alasan itu tidak seharusnya menjadi penghalang jika pemerintah berkomitmen pada perjanjian damai.
“Bendera Aceh ini bukan ancaman bagi NKRI. Justru ia adalah simbol bahwa Aceh punya identitas dan dihargai sebagai daerah istimewa. Kalau perjanjian ini tidak dijalankan, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan tergerus,” ujarnya.
Peringatan 20 tahun MoU Helsinki tahun ini menjadi momentum refleksi penting bagi seluruh pihak.
Mus Seudong menekankan bahwa peringatan tersebut tidak boleh berhenti pada seremoni dan serangkaian kegiatan simbolis, melainkan harus menjadi ajang untuk mengukur sejauh mana implementasi perjanjian telah dilakukan.
“Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Banyak darah dan air mata rakyat Aceh yang menjadi harga dari perdamaian ini. Jangan biarkan poin-poin yang sudah disepakati terbengkalai. Pemerintah harus menunjukkan itikad baik,” katanya.
Mus Seudong mengaku siap mengawal perdamaian bersama para tokoh masyarakat dan mantan kombatan KPA, asalkan pemerintah pusat benar-benar menepati janji yang sudah tertulis dalam MoU.
Seharusnya, kata Mus Seudong, Pemerintah pusat menggelar dialog konstruktif dengan pihak Aceh untuk mencari titik temu terkait simbol daerah.
Menurutnya, pengakuan terhadap simbol Aceh adalah bagian dari penghormatan terhadap otonomi khusus yang telah disepakati.
Di kalangan masyarakat Aceh, isu bendera ini menjadi simbol lebih besar dari sekadar selembar kain. Ia adalah representasi dari janji yang belum ditepati.
“Kalau bendera saja tidak bisa diselesaikan, bagaimana kita bisa percaya butir-butir lainnya akan dijalankan?, ini sudah 20 tahun, tapi bisa direalisasikan, kenapa?” tanya Mus Seudong.
Menutup pernyataannya, Mus Seudong menyerukan kepada pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh untuk duduk bersama mencari solusi yang adil dan menghormati kesepakatan.
Ia mengingatkan bahwa MoU Helsinki bukan hanya dokumen politik, tetapi juga perjanjian moral yang telah membawa Aceh dari konflik menuju perdamaian.
“Kami di Aceh akan terus mengawal perdamaian ini. Tapi kalau pemerintah ingkar janji, itu sama saja membuka luka lama. Jangan biarkan rakyat kembali kehilangan kepercayaan,” tegasnya.
MoU Helsinki lahir setelah konflik bersenjata berkepanjangan antara GAM dan pemerintah Indonesia yang menelan ribuan korban jiwa.
Perjanjian ini memuat 11 poin utama, termasuk penghentian permusuhan, penarikan pasukan non-organik, pembebasan tahanan politik, pembentukan partai politik lokal, serta pemberian hak untuk memiliki bendera dan lambang Aceh.
Selama 20 tahun terakhir, meski banyak kemajuan telah dicapai, beberapa poin masih menjadi pekerjaan rumah, termasuk pengakuan terhadap simbol daerah yang hingga kini tertunda.[]