Ramadhan

Tradisi ‘Meugang’ dan Kegagalan Pemkab Abdya Mengendalikan Harga Daging

Foto Ilustrasi suasana Meugang di Aceh. (Foto: Bisnis.com)

INISIATIF.CO – Harga daging meugang di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang melambung hingga Rp200.000 per kilogram—jauh di atas rata-rata Aceh yang berkisar Rp160.000-Rp180.000—bukan sekadar persoalan ekonomi pasar, melainkan cerminan kegagalan struktural pemerintah daerah dalam menjalankan mandat perlindungan sosial.

Fenomena ini menguak tiga masalah krusial, yaitu ketergantungan ekstrem pada pasokan luar daerah, absennya regulasi pengendalian harga, dan kepemimpinan yang gagal membaca kerentanan masyarakat di tengah tradisi sakral.

Abdya ibarat “daerah rentan” yang terjepit antara kebutuhan kultural dan ketiadaan kebijakan visioner. Sebanyak 88% pasokan daging sapi dan kerbau bergantung pada daerah lain seperti, Aceh Barat, Aceh Tengah dan Nagan Raya, sementara kapasitas peternakan lokal hanya memenuhi 12% kebutuhan (Dinas Pertanian Aceh, 2023).

Ketergantungan ini membuat Abdya mudah menjadi korban gejolak pasokan. Bandingkan dengan Kabupaten Bireuen yang berhasil mengurangi ketergantungan impor daging hingga 40% melalui program peternakan terintegrasi berbasis koperasi. Di Abdya, program serupa tidak pernah menjadi prioritas.

Pemerintah daerah seolah puas dengan kebijakan “sekadar ada”, tanpa memastikan efektivitasnya. Meski menelurkan surat edaran bupati terhadap aturan lapak penjualan daging, namun tidak ada upaya serius mengontrol harga. Tidak ada aturan bupati yang menetapkan batas harga maksimal, tidak ada sanksi tegas untuk praktik kartel, dan tidak ada sistem pemantauan distribusi yang transparan.

Di Aceh Besar, misalnya, pemantauan harga real-time dan denda 200% bagi pedagang nakal berhasil menstabilkan harga di angka Rp185.000/kg pada meugang 2023. Di Abdya, pasar dibiarkan liar, sebuah pembiaran yang memperparah beban masyarakat, terutama saat daya beli masyarakat turun sepanjang tahun 2024.

Momentum meugang (–sebuah tradisi di Aceh yang dilakukan dengan memasak dan santap daging bersama keluarga), yang seharusnya menjadi simbol kebersamaan, justru dijadikan ajang mencari rente oleh segelintir pihak. Praktik artificial scarcity atau kelangkaan buatan kerap terjadi, di mana tengkulak sengaja menahan pasokan untuk menaikkan harga.

Sumber Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) INISIATIF.CO menemukan bahwa 74% pedagang di Abdya mengaku “dipaksa” menaikkan harga oleh distributor yang mengontrol pasokan. Ini adalah bukti nyata  ‘ketidakberdayaan’ daerah melindungi pasar dari oligarki lokal. Di sisi lain, pemerintah daerah tidak memiliki mekanisme darurat seperti subsidi sementara atau kerja sama dengan distributor. Kebijakan serupa justru sukses diterapkan di Pidie Jaya dan Bener Meriah melalui program voucher daging untuk keluarga miskin.

Kegagalan ini semakin tragis mengingat APBD Abdya 2025 diperkirakan mencapai Rp.974 miliar, dengan alokasi Rp.786 Juta untuk ketahanan pangan (–sebelum efisiensi). Pertanyaan kritisnya; kemana mengalir anggaran tersebut jika stabilitas harga daging tak kunjung terjamin? Padahal, di daerah lain, anggaran serupa digunakan untuk membangun lumbung ternak desa atau memberikan insentif kepada peternak lokal. Di Abdya, ketiadaan transparansi dan prioritas yang keliru membuat masyarakat terus menjadi korban.

Solusi mendesak harus dimulai dari kepemimpinan yang berani mengambil langkah tegas. Pertama, pemerintah perlu membentuk satuan tugas darurat gabungan TNI/Polri, Dinas Perdagangan, dan organisasi masyarakat untuk memutus mata rantai kartel pasokan.

Kedua, penerbitan Peraturan Bupati tentang harga maksimal daging wajib diikuti sanksi pencabutan izin bagi pelanggar. Ketiga, percepatan program lumbung ternak berbasis partisipasi masyarakat dan CSR perusahaan sawit dan tambang lokal bisa menjadi solusi jangka menengah. Tidak kalah penting, subsidi silang melalui BUMD pangan harus dijalankan untuk menekan margin keuntungan pedagang, sehingga harga tetap terjangkau.

Meugang bukan sekadar tradisi, melainkan cerminan keadilan sosial. Masyarakat miskin di Abdya berhak merasakan sukacita meugang tanpa terbebani harga daging yang menyiksa. Jika Bupati sekarang tetap abai, ia tidak hanya gagal memenuhi hak dasar warga, tetapi juga mengkhianati filosofi meugang sebagai simbol kepedulian dan kebersamaan. Stabilitas harga daging adalah ujian nyata bagi komitmen pemerintah hadir di tengah penderitaan rakyat.

Abdya seharusnya tidak perlu menjadi contoh buruk sebagai daerah dengan harga daging termahal di provinsi Aceh. Dengan bermodal kepemimpinan yang visioner, tekad membenahi tata kelola pasokan, dan regulasi pro-rakyat, meugang bisa kembali menjadi momen yang mempersatukan. Saatnya pemerintah bergerak, mengatur strategi dan bertindak sebelum tradisi ini hanya menjadi kenangan pahit bagi masyarakat yang terus terhimpit. (Ikbal Fanika).

Editor : Redaksi
Tutup