ANTINARKOBA

Terungkap! Surat Sultan Aceh ke Sultan Turki Utsmani Tahun 1566, Minta Bantuan Lawan Portugis

Manuskrip asli surat Sultan Alauddin Riayat Syah dari Kesultanan Aceh kepada Sultan Turki Utsmani, Sulaiman Yang Agung, tertanggal 7 Januari 1566. Surat ini menjadi bukti historis kuatnya hubungan diplomatik dan solidaritas dunia Islam dalam menghadapi kolonial Portugis di Asia Tenggara.(Foto: Repro Turki Utsmani-Indonesia)

INISIATIF.CO, Banda Aceh – Sebuah potongan sejarah penting kembali mencuat ke permukaan. Surat resmi dari Sultan Aceh, Alauddin Riayat Syah, kepada Sultan Turki Utsmani, Sulaiman Yang Agung, tertanggal 7 Januari 1566 Masehi, menjadi bukti kuat hubungan diplomatik erat antara dua kekuatan besar Islam kala itu.

Dokumen bersejarah ini mencerminkan kondisi politik dan keamanan yang genting di Asia Tenggara abad ke-16, di mana Kesultanan Aceh menghadapi tekanan militer dari kekuatan kolonial Portugis. Tak hanya mengancam wilayah kekuasaan, Portugis juga disebut secara terang-terangan menghadang jalur haji ke Makkah dan menindas umat Islam.

Menariknya, surat tersebut tidak ditulis dalam bahasa Arab maupun Melayu, melainkan dalam bahasa Turki Utsmani yang indah dan formal. Hal ini diyakini sebagai upaya memperkuat pesan diplomatik, yang kemungkinan besar ditulis oleh Lutfi Bey—utusan Turki yang sudah lebih dulu berada di Aceh.

Salah satu hal yang unik dari surat tersebut adalah bahwa ia tidak ditulis dengan tulisan Arab atau Melayu, tetapi ditulis dalam bahasa Turki yang sangat elok, seolah-olah merupakan karya orang Turki Utsmani. Melihat kenyataan itu, kemungkinan besar surat itu ditulis oleh Lutfi Bey untuk menyampaikan permohonan dengan cara yang jelas dan sopan.

Dalam suratnya, Sultan Alauddin menjelaskan di awal surat tentang situasi budaya dan politik di daerah Kesultanan Aceh. Sultan Alauddin menerangkan bagaimana Portugis menghentikan rute perjalanan ibadah haji, kemudian menangkap orang-orang yang berhaji dan menjual mereka sebagai budak.

Surat itu juga menjelaskan usaha Portugis untuk mengontrol jalur laut dan wilayah-wilayah yang penting. Mereka membunuh kaum Muslimin di kapal dengan cara menenggelamkan kapal-kapal.

Sultan Alauddin juga dengan sangat rendah hati meminta agar Sultan Turki Utsmani menganggap Aceh sebagai bagian dari provinsi Turki dan menganggap dirinya sebagai Gubernur Turki Utsmani, bukan sebagai Sultan.

Berikut potongan terjemahan dari surat tersebut dalam bahasa masa kini, dikutip dari buku Turki Utsmani-Indonesia: Relasi dan Korespondensi Berdasarkan Dokumen Turki Utsmani yang ditulis Mahmet Akif Tarzi, Ahmet Ergun dan Mahmet Ali Alacagoz.

Isi surat Sultan Aceh Untuk Sultan Turki Utsmani Tahun 1566:

“Kami di sini berperang melawan kekuatan Portugis dan kami masuk dalam perangkap mereka. Agama kita mengajarkan ‘Dalam perang suci, tunjukkanlah belas kasihan pada kaum miskin dan biarkanlah para budak yang berada di antara musuh.’ Kami khawatir bahwa Portugis dan sekutunya di India akan menyerang kami karena mereka mengetahui bahwa kami berusaha menjalin hubungan dengan anda.”

“Demi Allah dan Nabi Muhammad SAW, tolonglah kami dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah sebelum kekuatan Portugis tiba.” 

“Sebelumnya kami telah mengirimkan dua perwakilan bernama Umar dan Husin. Kemudian penjajah Portugis mengetahui hal ini sehingga ia juga mengirim perwakilannya ke Raja Portugis. Perwakilan tersebut mengatakan pada rajanya bahwa Sultan Aceh meminta bantuan dari Turki Utsmani, tolong bantu kami juga.” 

“Bagaimanapun kami percaya bahwa kalian akan mendukung kami. Antara negara kami dengan Makkah, ada 24.000 pulau dikenal dengan Diva. Pulau-pulau tersebut berada di antara laut Freng Kuvehsi dan Zulumat. 12.000 dari pulau ini berpenghuni, dan dua belas ribu lainnya kosong. Penduduk dari pulau ini adalah penganut mazhab Syafi’i. Mereka berpuasa, shalat dan menyebut nama anda dalam khutbah mereka.”

“Kaum miskin di sini bertahan hidup dengan menjual seutas tali. Sebelumnya, orang asing tidak bisa masuk ke daerah ini karena pertahanan dan perjuangan keras mereka melawan orang kafir. Namun dalam kurun waktu antara 1562 – 1563 (Tahun 970 di penanggalan Muslim) daerah ini terus menerus diserang sehingga mereka kehilangan kekuatannya.” 

“Penguasa dari daerah ini terpaksa melarikan diri bersama keluarganya ke Makkah, namun hanya sampai ke Moha dan kemudian ke Aden. Akibatnya, kekuatan Portugis berhasil menguasai pulau-pulau tersebut dan memaksa penduduk miskin untuk memberikan 1.300.000 kg tali per tahun. Pulau-pulau ini sangat dekat satu sama lain dan hanya ada empat jalan lintas untuk menuju ke sana.”

“Tentara Portugis memblokir jalan lintas tersebut, membajak kapal dagang dan menangkap orang-orang yang berhaji. Jika mereka tidak bisa mengambil alih kapal tersebut, maka mereka akan menenggelamkannya dengan senjata api.”

“Ketika utusan anda datang dan menolong kami di sini pada tahun 1564 – 1565 (tahun 972 di penanggalan Muslim), kami memasok lada hitam, sutera, kayu manis, cengkeh, kamper (camphor), hisalbend (sejenis rempah-rempah) dan produk berharga lainnya dari daerah ini ke sebuah kapal, bernama Samadi, yang dimiliki oleh Wazir Gujarat Cigeri Khan. Kemudian kami kirimkan kapal ini ke Makkah.” 

“Ketika sampai di pulau, kami bertempur dengan tiga perahu galley trireme (sejenis kapal dayung) tentara Portugis selama empat hari empat malam, Portugis menembak dari kapal mereka dan kemudian menangkap 500 Muslim sebagai tawanan dan menenggelamkan kapal.

Demikian potongan surat dari Sultan Aceh ke Sultan Turki Utsmani tahun 1566 M. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Portugis menghadang rute perjalanan ke Tanah Suci yang biasa dilewati jamaah haji dari wilayah Indonesia atau Nusantara.[]

Editor : Ikbal Fanika
inisiatifberdampak
Tutup