Talak di Ujung Jalan: Malapetaka Seleb Tiktok
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan setiap interaksi pasangan suami istri ini semakin memburuk. Arjun merasa terasing dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan. Munah seolah menganggap Arjun adalah Mokondo, sebutan yang dia berikan kepada suaminya—seorang suami yang tidak mampu memenuhi ekspektasi.
Arjun lantas berusaha menjelaskan pos-pos anggaran yang sudah ia buat, tetapi semua usaha itu sia-sia. Di matanya, tetap tidak cukup.
Akhirnya, keputusan untuk bercerai menjadi pilihan yang tidak terhindarkan. Saat sidang pertama dijadwalkan pada tanggal 3 Desember, perasaan campur aduk menyelimuti Arjun. Di satu sisi, dia merasa lega bisa menutup lembaran pahit ini. Di sisi lain, ada rasa kehilangan yang menyakitkan. Hatinya berbicara, “Apakah ini semua benar-benar harus berakhir?” kata Arjun senyap.
Hari sidang tiba. Pengadilan agama terlihat sepi, hanya beberapa orang yang menunggu giliran. Arjun duduk di bangku kayu, merasakan dinginnya udara dengan ketegangan yang menyelimuti. Ketika Maimunah muncul, mereka bertukar pandang. Di dalam tatapan itu, dia melihat campuran kemarahan dan kesedihan. Dia mengenakan baju berwarna cerah, seolah berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja. Namun, di dalam hati kami, ada luka yang dalam.
Sidang dimulai. Suara hakim menggema di ruang sidang yang hening. “Apa alasan perceraian ini?” tanyanya. Arjun mengambil napas dalam-dalam, berusaha menyusun kata-kata. “Kami tidak lagi sejalan, Yang Mulia. Kami memiliki pandangan yang berbeda tentang kehidupan dan tanggung jawab.” Munah mengangguk, tetapi Arjun bisa melihat air mata di sudut matanya. Ia ingin meraihnya, meskipun ia tahu itu tidak mungkin.
Hari itu menjadi titik balik dalam hidup Arjun. Setelah sidang, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kehidupan yang telah di bangun bersama telah runtuh.
Tidak ada lagi rencana untuk masa depan, tidak ada lagi impian untuk dibagi. Semua yang tersisa hanyalah kenangan yang pahit dan harapan yang hancur.
Arjun kembali ke rumah kecil itu, dan merasakan kesepian yang mendalam. Dinding-dinding yang pernah menyimpan tawa kini hanya menyisakan kesedihan.