Rektor UTU: Abdya Butuh Blueprint Pembangunan Jangka Panjang yang Berkelanjutan
INISIATIF.CO, Blangpidie – Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) dinilai belum memiliki arah pembangunan yang jelas meski telah berusia 23 tahun. Hal ini disampaikan langsung oleh Rektor Universitas Teuku Umar (UTU), Prof. Dr. Ishak Hasan, M.Si, dalam wawancara khusus “Refleksi 23 Tahun Abdya: Menakar Arah Pembangunan Bumoe Breuh Sigupai” bersama INISIATIF.CO, Kamis (24/4/2025).
Menurut Prof. Ishak, salah satu akar masalah pembangunan di Abdya adalah ketiadaan cetak biru atau blueprint yang menjadi panduan jangka panjang lintas pemerintahan. Ia menekankan bahwa pembangunan tanpa arah jelas hanya akan melahirkan proyek-proyek yang mangkrak dan menyia-nyiakan sumber daya daerah.
“Kita harus menyusun cetak biru (blueprint) pembangunan Abdya dan itu harus sustainable (berkelanjutan-red). Jangan berganti pemerintahan, berganti pula programnya. Itu kelemahan kita di Aceh, termasuk di Abdya,” tegasnya.
Prof. Ishak mengajak seluruh elemen pemerintah dan legislatif di Abdya untuk mulai menyusun blueprint pembangunan yang dapat menjadi pegangan jangka panjang, sekaligus menjawab persoalan strategis daerah seperti pertanian, perikanan, pendidikan, dan kesehatan.
“Kalau ada blueprint, siapapun bupatinya tidak masalah. Karena rakyat ikut saat menyusun blueprint itu. Misalnya lima atau sepuluh tahun ke depan, apa yang mau kita capai dalam syariat Islam, pendidikan, perkebunan, atau sektor perikanan. Semua harus ada titik beratnya. Jangan bergeser,” jelasnya.
Ia mencontohkan sektor kelapa sawit yang saat ini menjadi tumpuan ekonomi sebagian masyarakat, namun belum didukung oleh industri hilir seperti pabrik minyak goreng. Menurutnya, perencanaan berbasis blueprint akan memastikan bahwa rantai nilai dari setiap sektor potensial bisa berkembang optimal.
“Blueprint itu ibarat lentera, penerang arah ke depan. Kalau tidak ada blueprint, kita tidak tahu arah pembangunan ke mana. Yang ada hanyalah proyek-proyek mangkrak. Kan sayang, yang rugi masyarakat,” ujarnya.
Dalam pandangannya, kolaborasi antara pemerintah, legislatif, masyarakat, dan kalangan akademik sangat penting dalam proses penyusunan cetak biru ini. Ia bahkan menawarkan keterlibatan kampus, khususnya UTU, dalam menyediakan kajian dan tenaga ahli untuk mendampingi dinas-dinas teknis.
“Duduklah dengan para doktor di UTU. Kami punya pusat pengembangan kawasan barat selatan Aceh, dan dosen kami siap mendukung tanpa dibayar. Asal ada kemauan, kita bisa wujudkan pembangunan yang terarah,” tutur Ishak.
Ia pun menegaskan bahwa stabilitas pemikiran dan konsistensi kebijakan jauh lebih penting dibanding popularitas politik jangka pendek.
“Kalau pemikiran tidak stabil, bagaimana kita membangun? Yang ada, belum dibuat sudah dicemooh. Ini yang harus kita ubah,” tambahnya.
Dengan penyusunan blueprint yang komprehensif, Prof. Ishak berharap Abdya tidak lagi terjebak pada pola pembangunan yang reaktif dan sektoral. Sebaliknya, ia ingin melihat Abdya tumbuh sebagai kabupaten yang memiliki arah, prioritas, dan strategi yang jelas dalam menghadapi masa depan.[]