Refleksi 23 Tahun Abdya: Menulis Ulang Mimpi ‘Bumoe Breuh Sigupai’
Lebih jauh lagi, sektor kesehatan di Abdya memperlihatkan celah besar yang mengkhawatirkan. Data BPS 2024 mencatat, Rumah Sakit Umum (RSU) Teuku Pekan Abdya hanya memiliki 62 dokter, terdiri dari 31 PNS, 8 PPPK, dan 23 dokter kontrak atau honor. Dengan jumlah penduduk Abdya sebanyak 154.997 jiwa dan laju pertumbuhan 0,13 persen, rasio dokter terhadap penduduk berada pada kisaran 1:2.500. Ini jauh dari standar ideal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang merekomendasikan rasio 1:1.000.
Yang lebih memprihatinkan, Abdya belum memiliki dokter spesialis di bidang-bidang krusial seperti bedah saraf, kardiologi, patologi anatomi, patologi forensik, ortopedi, gizi, hingga rehabilitasi medik. Akibatnya, masyarakat yang membutuhkan layanan spesialis harus dirujuk ke luar daerah, menambah beban biaya dan risiko kesehatan.
Pembangunan selama dua dekade terakhir terlalu fokus pada aspek-aspek fisik dan proyek jangka pendek. Tidak ada arah strategis yang mengikat dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. Hal ini menunjukkan absennya sebuah blueprint (cetakbiru) pembangunan jangka panjang yang disepakati bersama oleh masyarakat, pemerintah daerah, dan legislatif. Tanpa panduan tersebut, Abdya akan terus terjebak dalam lingkaran proyek-proyek pragmatis yang tidak menyentuh akar kebutuhan rakyat.
Kini saatnya Abdya membangun dengan visi yang jelas dan inklusif. Harus ada perubahan paradigma dari pembangunan elitis menjadi pembangunan yang memberdayakan. Setiap langkah pembangunan mesti dirancang untuk memperkuat sektor dasar seperti pertanian, perikanan, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur layanan dasar.
Anak-anak muda Abdya juga perlu diberi ruang lebih luas untuk berperan dalam transformasi ini. Investasi pada pendidikan vokasi, penguasaan bahasa asing, dan penciptaan kampung-kampung keterampilan seperti kampung Bahasa Inggris bisa menjadi fondasi untuk menyiapkan generasi yang mampu bersaing di tingkat global, tanpa harus bergantung pada pasar kerja lokal yang terbatas.
Memasuki usia 23 tahun, Abdya harus bangkit dari mimpi pembangunan yang setengah hati. Ini adalah momentum untuk kembali ke akar, menulis ulang mimpi besar yang pernah terpatri, mendengar suara rakyat kecil, dan memastikan bahwa setiap rupiah pembangunan benar-benar mengurangi kemiskinan, memperkuat keadilan, dan membangun masa depan yang lebih layak untuk masyarakat bumoe breuh sigupai. (Tim Redaksi).