HUT RI Ke 80

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Parpol Beri Respons Beragam

Mahkamah Konstitusi. (Dok. Hukum Online).

INISIATIF.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan agar pemilihan umum (pemilu) tingkat nasional dipisahkan dari pemilu daerah. Keputusan ini direspons beragam oleh partai politik di parlemen.

Gugatan terkait penyelenggaraan pemilu ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) melalui perkara nomor 135/PUU-XXII/2024. Mereka meminta pemilu nasional — untuk DPR, DPD, serta Presiden/Wakil Presiden — dijadwalkan terpisah dengan pemilu daerah, yaitu DPRD dan kepala daerah, dengan jeda paling lama dua tahun enam bulan.

MK menyetujui permohonan tersebut. Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan pada Kamis (26/6/2025), menyatakan bahwa pemilihan nasional dan lokal tidak lagi dilaksanakan secara serentak seperti sebelumnya. Pemisahan ini, menurut MK, bertujuan memperkuat efektivitas dan kualitas demokrasi.

“Pemilihan dilaksanakan secara serentak… dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan DPD atau pelantikan Presiden/Wakil Presiden,” ujar Suhartoyo.

Demokrat: Ada Potensi Perpanjangan Masa Jabatan DPRD

Sekjen Partai Demokrat, Herman Khaeron, mengakui keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ia menyoroti kemungkinan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hingga dua tahun.

“Kami juga harus menyesuaikan masa periodisasi kepengurusan partai yang disesuaikan dengan adanya dua kali pemilu, pusat dan daerah,” ujarnya.

Herman juga menilai, keputusan ini berdampak pada strategi pembiayaan, sosialisasi caleg, dan sistem tandem caleg nasional dan lokal yang selama ini berjalan.

Golkar Pertanyakan Konsistensi MK

Waketum Partai Golkar, Adies Kadir, menyatakan bahwa putusan ini menimbulkan pertanyaan atas konsistensi Mahkamah Konstitusi. Ia membandingkan putusan ini dengan amar sebelumnya, yaitu putusan nomor 55/PUU-XVII/2019.

“Putusan MK itu final dan mengikat, tapi selalu berubah-ubah. Apakah kalau ketua MK-nya ganti, putusannya juga ikut berubah?” katanya.

Adies juga menyebut bahwa seharusnya tatanan hukum dan konstitusi tidak diubah terlalu sering karena bisa berdampak pada ketidakstabilan sistem demokrasi.

Editor : Yurisman
inisiatifberdampak
Tutup