Banner Niagahoster
Ramadhan

Peran Jurnalis dalam Melestarikan Bahasa

Foto dokpri.

*Oleh: Muhammad Ikbal Fanika

INISIATIF.CO – Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga cermin identitas, budaya, dan sejarah suatu masyarakat. Sebagai garda depan informasi, jurnalis memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian bahasa, terutama di tengah gempuran bahasa tidak lazim dan singkatan informal yang marak dalam interaksi sosial maupun media digital.

Bank Aceh

Tantangan ini menuntut jurnalisme untuk bertindak sebagai penjaga nilai kebahasaan, sekaligus penyeimbang antara kemurnian bahasa dan dinamika perkembangannya.

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menegaskan bahwa bahasa adalah warisan budaya takbenda yang rentan punah jika tidak dilindungi. Di sinilah peran media sebagai guardian of language menjadi krusial. Teori gatekeeping dalam jurnalisme, yang dicetuskan Kurt Lewin, juga menerangkan bahwa jurnalis memiliki wewenang untuk menyaring informasi sebelum disebarkan—termasuk memastikan penggunaan bahasa yang sesuai kaidah.

Dalam praktiknya, ini berarti menghindari singkatan tidak lazim seperti “yg” untuk “yang” atau “dgn” untuk “dengan” dalam berita formal. Tindakan ini bukan sekadar menjaga konsistensi, tetapi juga mencegah degradasi makna dan struktur bahasa. Namun, pelestarian bahasa tidak berarti menolak perubahan.

David Crystal, ahli linguistik terkemuka, mengingatkan bahwa bahasa adalah entitas hidup yang terus berevolusi. Media berperan sebagai jembatan antara bahasa baku dan bahasa populer. Misalnya, ketika melaporkan fenomena budaya, jurnalis dapat menyertakan istilah lokal seperti “Meugang” (sebuah tradisi memasak daging dan menikmati bersama kelurga di Aceh) dengan memberikan penjelasan kontekstual. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya kosakata pembaca, tetapi juga mendokumentasikan keragaman linguistik.

Di sisi lain, penggunaan slang seperti “bucin” (budak cinta) atau “baper” (bawa perasaan) perlu dibatasi agar tidak menggerus kredibilitas berita atau menciptakan kebingungan di kalangan audiens multigenerasi.

Edukasi bahasa secara tidak langsung juga menjadi tugas jurnalisme. Konten berita yang menggunakan kalimat efektif, diksi tepat, dan struktur logis dapat menjadi model bagi masyarakat. Sebaliknya, penggunaan bahasa hiperbolis atau jargon eksklusif berisiko menciptakan “polusi bahasa” yang mengganggu komunikasi. Contoh nyata adalah maraknya istilah asing seperti lockdown, LOL, Ghosting, OMG atau hoax yang sering digunakan tanpa adaptasi. Jurnalis dituntut untuk menerjemahkan atau memberikan penjelasan tambahan tanpa mengorbankan akurasi informasi.

Tantangan terbesar muncul dari tekanan dunia digital. Platform seperti X (–dulu twitter) atau TikTok mendorong penggunaan bahasa singkat, informal, dan penuh singkatan. Di satu sisi, jurnalis perlu mengakomodasi kebiasaan audiens digital, di sisi lain, mereka harus mempertahankan integritas bahasa. Solusinya terletak pada pendekatan diferensiasi, menjaga formalitas di media cetak atau portal berita resmi, sementara di media sosial, fleksibilitas bisa diterapkan dengan batasan etis. Misalnya, menggunakan hashtag kreatif tanpa menghilangkan kaidah penulisan yang benar.

Kepentingan komersial juga kerap berbenturan dengan pelestarian bahasa. Iklan dan konten hiburan sering mengandalkan bahasa tidak baku untuk menarik perhatian. Di sini, jurnalis harus tegas menjaga batas antara konten informatif dan hiburan. Kolom opini atau artikel features mungkin lebih lentur, tetapi pemberitaan hard news harus tetap berpegang pada pedoman bahasa baku seperti Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

Strategi pelestarian bahasa dalam jurnalisme memerlukan kolaborasi multidisiplin. Pertama, pelatihan kebahasaan rutin bagi jurnalis, seperti yang diterapkan BBC melalui Style Guide ketat mereka, dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa baku.

Kedua, kerja sama dengan ahli bahasa atau lembaga seperti Pusat Bahasa diperlukan untuk memverifikasi istilah baru atau menyarikan kata serapan.

Ketiga, proses fact-checking harus mencakup pengecekan aspek linguistik—mulai dari ejaan hingga kesesuaian konteks. Yang tak kalah penting adalah peran media sebagai agen edukasi. Rubrik khusus tentang kebahasaan, seperti kolom “Bahasa Kita” di harian Kompas, bisa menjadi ruang dialog untuk mengangkat sejarah kata, mendiskusikan kesalahan umum, atau memperkenalkan istilah daerah. Pendekatan ini tidak hanya melestarikan bahasa, tetapi juga membangun kesadaran publik akan nilai linguistik sebagai bagian dari identitas kolektif.

Pada akhirnya, jurnalisme berada di persimpangan antara pelestarian dan inovasi. Menghindari singkatan tidak lazim atau bahasa eksklusif bukan berarti menolak perubahan, melainkan memastikan bahwa evolusi bahasa tetap berjalan dalam koridor yang tidak merusak fondasi komunikasi. Seperti yang diungkapkan UNESCO, setiap bahasa yang punah adalah hilangnya satu sudut pandang manusia tentang dunia. Dengan menjalankan peran sebagai penjaga gerbang bahasa, jurnalis tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga menjaga warisan budaya yang hidup dan bernapas dalam setiap kata.[]

*Penulis adalah alumni Pascasarjana UIN Ar- Raniry Banda Aceh, Dosen, dan praktisi media.

Editor : Redaksi
Iklan BRI
Tutup