Pemerintah Pusat Sebut ‘Prioritas Nasional’, DPR: Ini Harusnya Status Bencana Nasional

Gajah Turun Gunung Bantu Angkut Kayu Besar Pasca-Bencana Banjir di Pidie Jaya. [Foto: merdeka.co]

Inisiatif Logo, Jakarta – Desakan agar banjir dan longsor yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh ditetapkan sebagai bencana nasional semakin menguat. Hampir seluruh fraksi di DPR, termasuk Gerindra, telah menyuarakan hal tersebut. Namun hingga kini pemerintah pusat belum menunjukkan tanda-tanda akan mengubah status bencana.

Dorongan itu kembali ditegaskan Anggota Fraksi Gerindra yang juga Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Sugiat Santoso.

“Saya berharap bahwa secepatnya saja ditetapkan status bencana ini sebagai bencana nasional. Supaya pemerintah pusat bisa turun langsung menangani ini. Kalau tidak, bahaya kan,” ujar Sugiat, Rabu (3/12/2025).

Banjir besar yang merendam 52 kabupaten/kota di tiga provinsi membuat sejumlah pemerintah daerah menyatakan tidak mampu lagi menangani dampaknya. Di Aceh, empat kepala daerah secara terbuka meminta bantuan pemerintah pusat.

Mereka adalah Bupati Aceh Utara Ismail A. Jalil, Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, Bupati Aceh Tengah Haili Yoga, dan Bupati Pidie Jaya Sibral Malaysi.

“Kami menyatakan ketidakmampuan upaya penanganan darurat bencana dan memohon kepada Bapak Presiden agar kiranya membantu penanganan banjir di Kabupaten Aceh Utara,” tulis Ismail dalam surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto (2/12).

Ketua Komisi V DPR Lasarus menilai situasi banjir di Sumatra sudah lebih dari cukup untuk ditetapkan sebagai bencana nasional.

“Kalau itu meluas, korbannya banyak, dan pemerintah kewalahan menangani, ya harusnya ditetapkan status sebagai bencana nasional,” ujarnya di Bandung, Jumat (5/12).

Dasar Hukum Penetapan Bencana Nasional

Penetapan status bencana nasional diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah pusat memiliki wewenang menetapkan status bencana, mempertimbangkan faktor jumlah korban, kerugian materi, cakupan wilayah, hingga dampak sosial-ekonomi.

Hingga Senin (8/12), BNPB mencatat 961 korban meninggal dan lebih dari 1 juta warga mengungsi akibat banjir bandang dan longsor di ketiga provinsi tersebut.

Peraturan Pemerintah PP No. 21 Tahun 2008 juga menegaskan bahwa status darurat bencana nasional hanya dapat ditetapkan oleh Presiden. Sementara pedoman BNPB 2016 menyebutkan bahwa status itu diberikan jika pemerintah provinsi tak lagi mampu mengaktifkan sistem komando, memobilisasi sumber daya, hingga memenuhi kebutuhan darurat warga.

Pemerintah Pilih Sebut ‘Prioritas Nasional’

Alih-alih menetapkan status bencana nasional, pemerintah menyebut bencana Sumatra sebagai “prioritas nasional.”

Menko PMK Pratikno menyatakan Presiden Prabowo telah menginstruksikan percepatan penanganan dengan dukungan penuh dana dan logistik nasional.

“Situasi ini diperlakukan sebagai prioritas nasional, termasuk jaminan bahwa dana dan logistik nasional tersedia secara penuh,” kata Pratikno, Rabu (3/12).

Namun, penggunaan istilah ini mendapat kritik dari banyak pihak.

Akademisi: Sebatas Gimik, Bukan Solusi

Dosen hukum lingkungan UGM, Agung Made Wardana, menilai istilah “prioritas nasional” tidak dikenal dalam mekanisme penanggulangan bencana.

Menurut Agung, pemerintah menggunakan istilah tersebut untuk menghindari konsekuensi anggaran jika menetapkan status bencana nasional.

“Ini permainan semantik untuk menghindar dari tanggung jawab. Anggaran penanggulangan bencana terkena kebijakan efisiensi yang diarahkan untuk proyek strategis nasional, khususnya MBG,” ujarnya, Senin (8/12).

Agung menilai pemerintah tidak menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas utama.

“Pemerintah memilih memberikan makan siang gratis untuk anak-anak sekolah. Akan tetapi, program ini akan mubazir karena anak-anak ini akan menjadi korban bencana,” katanya.

Dosen Fakultas Ekologi IPB, Rina Mardiana, menyebut banjir di Sumatra dan Aceh bukan kejadian alam semata, melainkan hasil dari keputusan politik yang abai terhadap kajian ilmiah dan peringatan organisasi lingkungan.

“Kami menilai tragedi ini sebagai bencana kebijakan. Penderitaan rakyat bukanlah takdir alam, melainkan akibat langsung dari serangkaian keputusan politik yang keliru,” ungkapnya.

Rina juga menyoroti minimnya anggaran bencana.

“Pos pendanaan bencana di BNPB hanya sekitar 491 miliar, jauh lebih kecil dibanding anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mencapai Rp1,2 triliun per hari. Rezim ini memang tidak punya sense of humanity,” tegasnya.[]

Editor : Ikbal Fanika
inisiatifberdampak
Tutup