Optimalisasi Data untuk Pengentasan Kemiskinan di Aceh
*Oleh: Muhammad Ikbal Fanika
Kata-kata seperti “data-driven”, “evidence-based policy”, dan “big data” semakin sering kita dengar dalam wacana pembangunan di negara maju dan negara berkembang. Pengambilan keputusan dengan berlandaskan data memang menjadi tren global saat ini, karena diyakini dapat menghasilkan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan efektif.

Sebagai salah satu provinsi dengan potensi sumber daya alam yang melimpah, Aceh seharusnya dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dan luasnya data yang tersedia untuk merumuskan strategi pembangunan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, pemanfaatan data untuk pembangunan di Aceh masih belum optimal. Salah satu tantangan pembangunan yang masih dihadapi Provinsi saat ini Aceh adalah tingginya angka kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, persentase penduduk miskin di Aceh mencapai 14,45 persen, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional yang berada di angka 9,36 persen.
Angka kemiskinan yang tinggi ini merupakan masalah yang telah berlangsung lama di Aceh. Sejak pasca-konflik dan tsunami 2004, upaya pengentasan kemiskinan terus dilakukan, namun hasilnya belum optimal. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pengentasan kemiskinan yang selama ini diterapkan belum cukup efektif.
Salah satu faktor yang berkontribusi adalah terbatasnya pemanfaatan data dan analisis yang komprehensif dalam perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan di Aceh.
Pemanfaatan Data untuk Pengentasan Kemiskinan
Untuk keluar dari masalah kemiskinan kronis ini, Pemerintah Provinsi Aceh perlu melakukan terobosan dengan memanfaatkan data secara lebih optimal. Ada beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan, salah satunya membangun Sistem Informasi Terpadu Pengentasan Kemiskinan.
Pemerintah Aceh perlu membangun suatu sistem informasi terpadu yang dapat menghimpun dan mengolah berbagai data terkait kemiskinan di Aceh. Data tersebut dapat bersumber dari BPS, Dinas Sosial, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta instansi terkait lainnya.
Sistem ini dapat menyediakan data yang komprehensif mengenai profil kemiskinan di Aceh, seperti karakteristik dan sebaran penduduk miskin, sumber penghidupan, akses terhadap layanan dasar, serta faktor-faktor penyebab kemiskinan. Data ini dapat dianalisis secara mendalam untuk merumuskan strategi pengentasan kemiskinan yang lebih tepat sasaran.
Kemudian, Pemerintah Aceh melakukan analisis data secara komprehensif berdasarkan data yang terhimpun dalam sistem informasi terpadu, Pemerintah Aceh perlu melakukan analisis data yang lebih mendalam. Analisis ini dapat mencakup identifikasi pola, tren, dan determinan kemiskinan di Aceh, serta proyeksi kebutuhan dan prioritas pengentasan kemiskinan di masa mendatang.
Analisis yang komprehensif ini dapat menjadi dasar bagi perumusan kebijakan dan program pengentasan kemiskinan yang lebih strategis dan terintegrasi. Pendekatan yang berlandaskan data ini diharapkan dapat menghasilkan solusi yang lebih efektif dalam mengatasi akar permasalahan kemiskinan di Aceh.
Hal lain yang perlu dilakukan dengan membangun kolaborasi dengan akademisi dan praktisi untuk memaksimalkan pemanfaatan data dalam pembangunan. Pemerintah Aceh perlu menjalin kolaborasi yang erat dengan akademisi, seperti dari perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Mereka dapat berperan dalam membantu mengolah dan menganalisis data, serta memberikan masukan kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy).
Selain itu, Pemerintah Aceh juga dapat melibatkan praktisi, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi masyarakat sipil, yang telah memiliki pengalaman dan pemahaman mendalam mengenai kondisi kemiskinan di lapangan. Kolaborasi ini dapat memperkaya analisis dan menjamin kebijakan yang disusun sesuai dengan kebutuhan dan konteks lokal.
Selanjutnya, Pemerintah Aceh juga perlu membangun budaya berbasis data dan penggunaan data untuk perumusan kebijakan pembangunan. Tidak akan optimal tanpa adanya budaya berbasis data (data-driven culture) yang kuat di lingkungan pemerintahan Aceh. Untuk itu, diperlukan upaya sistematis untuk membangun kapasitas aparatur pemerintah dalam memahami, menganalisis, dan memanfaatkan data secara efektif. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan, workshop, dan pendampingan yang berkelanjutan.
Terakhir, Pemerintah Aceh juga perlu memastikan tersedianya sumber daya teknologi informasi dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola dan mengolah data secara profesional. Melalui pemanfaatan data yang lebih bijak dan komprehensif, Pemerintah Aceh diharapkan dapat merumuskan strategi pembangunan, khususnya dalam pengentasan kemiskinan, yang lebih terarah, efektif, dan berkelanjutan. Hal ini akan menjadi fondasi yang kuat bagi Aceh untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian yang lebih baik di masa depan. Semoga!
*Penulis adalah Dosen dan alumni pascasarjana Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.