Menggali Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi dan Sastra Aceh
*Oleh: Muhammad Johan, S.Pd., M.Pd
INISIATIF.CO – Pendidikan islami adalah sarana penting dalam menyebarluaskan nilai-nilai ajaran agama, sekaligus menjadi jembatan transformasi ilmu pengetahuan yang melahirkan kebudayaan dan peradaban manusia. Di era modern ini, umat Islam dihadapkan pada tantangan besar yang ditimbulkan oleh modernisasi, kemajuan teknologi, dan infiltrasi budaya asing.

Salah satu manifestasi tantangan ini terlihat dalam maraknya tayangan televisi yang menyajikan hiburan, seringkali memuat konten yang kurang mendidik dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam menghadapi realitas ini, pendidikan berbasis nilai-nilai Islam menjadi kebutuhan mendesak untuk mengembalikan perilaku individu kepada ajaran agama yang luhur dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai pendidikan memiliki kekuatan untuk membentuk watak dan karakter seseorang. Ia dapat mengarahkan individu ke arah yang lebih baik atau sebaliknya, tergantung pada nilai-nilai yang ditanamkan. Akhlak dan karakter yang berorientasi pada nilai spiritual, kemanusiaan, dan lingkungan merupakan unsur yang telah melekat dalam kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Pendidikan, dalam hal ini, tidak hanya berfungsi sebagai proses transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk menciptakan generasi yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Nilai-nilai pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam menjadi kunci dalam membangun peradaban yang berlandaskan pada moralitas dan spiritualitas.
Masyarakat Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Makkah, merupakan contoh nyata bagaimana nilai-nilai syariat Islam terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Qanun Aceh pada masa Iskandar Muda menjadi landasan bagi adat istiadat dan budaya yang kental dengan nuansa Islam.
Tradisi orang tua di Aceh dalam memberikan pendidikan akhlak kepada anak-anaknya melalui pesan-pesan seperti “Beu metuah” (jadilah bertuah) atau “Meunyoe jeut tapeulaku boh labu jeut ke asoe kaya. Meunyoe hanjeut tapeulaku aneuk teungku jeut keu beulaga” (jika bisa diarahkan, labu bisa menjadi kari. Jika tidak bisa diarahkan, anak teungku bisa menjadi bajingan) –mencerminkan kearifan lokal yang sarat dengan nilai-nilai Islam. Pesan-pesan ini tidak hanya mengandung nasihat, tetapi juga doa dan harapan agar anak-anak tumbuh menjadi individu yang berakhlak mulia.
Salah satu praktik unik dalam pendidikan akhlak di Aceh adalah penggunaan panggilan positif seperti “aneuk metuah” (anak yang bertuah) atau “boh hate loen” (buah hatiku) kepada anak yang baru saja melakukan kesalahan. Panggilan ini bukan sekadar bentuk kasih sayang, tetapi juga mengandung filosofi mendalam sebagai doa agar anak tidak mengulangi kesalahannya. Pendekatan ini menunjukkan bagaimana budaya lokal Aceh, yang diwarnai oleh nilai-nilai Islam, mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang penuh kasih sayang dan mendukung perkembangan moral anak.
Keberagaman budaya dalam tutur kata dan perilaku menjadi filosofi hidup masyarakat Aceh. Selain menggunakan bahasa yang lembut, mereka juga memanfaatkan seni seperti musik Islami dan sastra untuk mengarahkan anak-anak dan lingkungan ke arah yang lebih baik.
Sastra Aceh, yang telah berkembang sejak abad ke-9, menjadi salah satu medium penting dalam menyampaikan nilai-nilai pendidikan dan moral. Meskipun sejarah sastra Aceh tidak banyak tercatat secara detail, tradisi ini terus bertahan dan menjadi bagian dari identitas budaya yang perlu dilestarikan.
Panggilan seperti “aneuk metuah” atau “sayang loen” tidak hanya memperkuat hubungan emosional antara orang tua dan anak, tetapi juga memperkenalkan identitas budaya kepada generasi muda. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam tradisi ini perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang agar budaya Aceh tidak luntur oleh arus modernisasi.
Peran orang tua, guru, teungku (ustaz) pengajian, dan seluruh masyarakat Aceh sangat penting dalam melestarikan budaya ini. Dengan demikian, pendidikan berbasis nilai-nilai Islam dan kearifan lokal dapat menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi tantangan zaman, sekaligus menjaga kelestarian budaya dan identitas masyarakat Aceh.
Dalam konteks globalisasi yang semakin pesat, pendidikan yang mengakar pada nilai-nilai Islam dan kearifan lokal seperti yang dipraktikkan masyarakat Aceh menjadi solusi efektif untuk membentengi generasi muda dari pengaruh negatif modernisasi. Melalui pendekatan yang penuh kasih sayang dan berlandaskan nilai-nilai spiritual, kita dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Inilah esensi pendidikan sejati yang mampu melahirkan peradaban yang berkelanjutan.[]
*Penulis adalah Kepala Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Seunuddon, Aceh Utara.