ANTINARKOBA

Mengenang 19 Mei, Saat Darurat Militer Membekap Aceh

Foto ilustrasi (net).

INISIATIF.CO, Banda Aceh – Dua puluh dua tahun silam, tepat pada 19 Mei 2003, Aceh didekap gelap. Status darurat militer resmi diberlakukan oleh pemerintah pusat, menyusul kegagalan perundingan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia.

Operasi militer yang dikemas dalam tajuk “Operasi Terpadu” menjadi fase paling berdarah dalam sejarah konflik Aceh modern.

Sebanyak 30.000 personel TNI dan 12.000 polisi dikerahkan. Warga sipil hidup dalam ketakutan, kampung-kampung dibatasi mobilitasnya, dan ribuan nyawa melayangbukan hanya dari barisan GAM, tapi juga dari masyarakat biasa yang tak mengangkat senjata.

Status darurat itu berlangsung hingga Mei 2004, kemudian diganti menjadi darurat sipil. Namun, penindakan dan operasi keamanan tak serta-merta berakhir.

Pada periode itulah, dunia akhirnya menyaksikan bahwa Aceh tak hanya butuh penindakan, tapi keadilan dan kehadiran negara. Barulah setelah gempa dan tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004, diplomasi damai kembali menemukan ruangnya. Hasilnya, perjanjian damai Helsinki ditandatangani pada 2005, dan sejak saat itu, babak baru Aceh dimulai.

Salah satu titik terang dari perjanjian itu adalah hadirnya Dana Otonomi Khusus (Otsus). Bagi Aceh, Otsus bukanlah sekadar privilese fiskal. Ia adalah kompensasi politik atas luka masa lalu, sekaligus mekanisme pemulihan dari trauma panjang perang dan penjagaan terhadap integritas sosial-ekonomi Aceh.

Namun, Otsus yang diberikan selama 20 tahun itu kini berada di ambang batas waktu. Jika tidak diperpanjang atau dicarikan skema pengganti yang adil dan proporsional, Aceh dikhawatirkan kembali tersudut. Sebab kenyataannya, pembangunan dan pemulihan pascakonflik belum sepenuhnya selesai.

Masih banyak wilayah terpencil yang kesulitan akses infrastruktur dasar. Kesenjangan ekonomi dan pengangguran masih menjadi persoalan laten. Bahkan, perdebatan soal reintegrasi eks kombatan dan kesejahteraan korban konflik pun belum tuntas sepenuhnya.

Jakarta mesti sadar bahwa pembangunan Aceh pascaperdamaian bukanlah proyek jangka pendek. Butuh komitmen panjang dari pusat untuk merawat perdamaian ini. Memang, Aceh kini telah banyak berubah, pemerintahan lokal tumbuh, partai lokal berdiri, dan regulasi otonomi dijalankan. Tapi bekas luka tak bisa sembuh hanya dalam dua dekade. Ia butuh waktu, ruang, dan dukungan berkelanjutan.

Aceh punya pengalaman panjang dalam bernegosiasi, berdamai, dan membangun dirinya kembali dari puing-puing konflik. Tapi pengalaman itu tak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Pemerintah pusat perlu hadir, bukan sekadar sebagai pengawas, tetapi sebagai mitra sejajar yang turut memastikan proses transisi ini selesai sepenuhnya.

Memperingati 19 Mei bukan hanya tentang mengenang kekerasan. Ia juga tentang mengingat janji-janji yang belum tuntas.

Otsus bukan hanya angka dalam APBN. Ia adalah bagian dari lembar damai yang telah diteken bersama. Bila Aceh telah menunjukkan niat baik dan kerja kerasnya dalam menjaga perdamaian, sudah sepatutnya negara menunjukkan hal serupa dengan memperpanjang dan memperkuat komitmennya dalam membangun masa depan negeri Serambi Mekkah. (Tim Redaksi).

Editor : Ikbal Fanika
Tutup