Banner Niagahoster
Ramadhan

Mencari Keseimbangan Antara Loyalitas Politik dan Kompetensi Birokrasi Pasca Pilkada

Ilustrasi (net).

INISIATIF.CO – Pasca pelantikan kepala daerahbaik gubernur maupun bupati–, panggung politik kerap diwarnai oleh seremonial pergantian pejabat. Mencopot yang lama, melantik yang baru, seolah menjadi ritual wajib yang tak terelakkan. Namun, di balik gegap gempita tersebut, tersembunyi pertanyaan kritis: Bagaimana kepala daerah memilih pejabat pembantunya tanpa merusak struktur birokrasi yang telah mapan? Apakah loyalitas politik harus mengalahkan kompetensi dan pengalaman?

Konflik pasca-pilkada seringkali menjadi batu sandungan pertama. Sisa-sisa pertarungan kampanye, baik yang terbuka maupun terselubung, kerap terbawa ke dalam pemerintahan baru. Kubu pemenang merasa berhak atas “jatah” posisi strategis, sementara kubu lawan yang masih tersisa dalam birokrasi seringkali dianggap sebagai ancaman. Akibatnya, kepala daerah terjebak dalam dilema, memilih pejabat berdasarkan loyalitas politik atau kompetensi?

Hari Pers Nasional

Contoh kasus yang relevan dapat dilihat dari Pilkada DKI Jakarta 2017. Setelah Anies Baswedan dilantik sebagai gubernur, terjadi reshuffle besar-besaran di tubuh birokrasi. Beberapa pejabat kunci yang dianggap dekat dengan mantan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) digantikan oleh orang-orang baru yang lebih sejalan dengan visi politik Anies. Meskipun langkah ini dianggap perlu untuk memastikan keselarasan program, tidak sedikit yang mempertanyakan efektivitas birokrasi pasca-reshuffle. Apakah pejabat baru tersebut benar-benar lebih kompeten, atau sekadar “orang dalam” yang setia?

Di sisi lain, kepala daerah juga harus berhadapan dengan struktur birokrasi yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Birokrasi, pada dasarnya, adalah mesin pemerintahan yang digerakkan oleh profesionalisme dan pengalaman. Mengganti pejabat hanya karena alasan politik dapat mengganggu kontinuitas kebijakan dan merusak tatanan yang sudah ada. Misalnya, di Pilkada Jawa Barat 2018, Ridwan Kamil sebagai gubernur baru memilih untuk mempertahankan sebagian besar pejabat lama yang dianggap kompeten. Langkah ini dianggap bijak karena menjaga stabilitas birokrasi, meskipun tidak sepenuhnya memuaskan kubu pendukungnya yang menginginkan perubahan lebih radikal.

Lalu, bagaimana seharusnya kepala daerah memilih pejabat pembantunya? Pertama, kepala daerah harus memisahkan antara kepentingan politik dan kebutuhan birokrasi. Loyalitas politik memang penting, terutama untuk memastikan keselarasan visi dan misi. Namun, kompetensi dan pengalaman tidak boleh diabaikan. Pejabat yang kompeten akan memastikan bahwa program-program pemerintah berjalan efektif, sementara pejabat yang hanya mengandalkan loyalitas politik berisiko menjadi beban.

Kedua, kepala daerah perlu melakukan assessment yang objektif. Sebelum memutuskan untuk mencopot atau melantik pejabat, penting untuk mengevaluasi kinerja dan kapabilitas mereka. Assessment ini harus transparan dan melibatkan pihak independen untuk menghindari bias politik. Contoh baik dapat dilihat dari Pilkada Surabaya 2020, di mana Wali Kota Eri Cahyadi memilih untuk mempertahankan pejabat-pejabat kunci yang telah terbukti berkinerja baik, meskipun mereka berasal dari era kepemimpinan sebelumnya.

Ketiga, kepala daerah harus membangun budaya birokrasi yang inklusif. Alih-alih memecah belah birokrasi berdasarkan kubu politik, kepala daerah dapat menciptakan lingkungan kerja yang mendorong kolaborasi antara pejabat lama dan baru. Sinergi antara pengalaman lama dan ide-ide baru dapat menjadi kekuatan besar bagi pemerintahan. Misalnya, di Pilkada Bali 2020, Gubernur Wayan Koster berhasil menciptakan harmoni antara pejabat lama dan baru dengan fokus pada pencapaian target pembangunan daerah.

Terakhir, kepala daerah harus memiliki keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak populer. Tidak semua keputusan akan disukai oleh pendukung politik, tetapi keputusan yang diambil demi kepentingan publik harus didahulukan. Kepala daerah baik Gubrnur dan Bupati yang bijak akan memprioritaskan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan politik jangka pendek.

Reshuffle pejabat memang kerap diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak struktur birokrasi yang telah mapan. Assessment objektif, transparansi, dan budaya inklusif adalah kunci untuk menciptakan birokrasi yang efektif dan profesional.

Dengan demikian, kepala daerah tidak hanya akan dikenang sebagai pemenang pilkada, tetapi juga sebagai pemimpin yang mampu membawa perubahan nyata bagi rakyat. Birokrasi yang kuat dan kompeten adalah fondasi utama untuk mewujudkan visi pembangunan yang berkelanjutan. Semoga!

Editor : Redaksi
Iklan BRI
Tutup