Mencari Jalan Tengah Antara Sosialisme dan Kapitalisme Ala Prabowo
Namun, upaya memadukan kedua ideologi ini berisiko menciptakan paradoks. Pertama, paradoks fiskal. Program sosial membutuhkan anggaran besar. Sebagai contoh, program makan gratis diperkirakan menelan Rp 120 triliun per tahun, sementara insentif pajak untuk korporasi berpotensi mengurangi penerimaan negara. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, defisit anggaran akan melonjak, memicu inflasi atau utang luar negeri. (Inisiatif)
Kedua, paradoks efisiensi versus kesetaraan. Kapitalisme mengutamakan efisiensi, tetapi deregulasi berlebihan bisa menggerus hak buruh dan lingkungan. Sebaliknya, intervensi negara yang masif, seperti subsidi, rentan disalahgunakan jika tata kelola lemah. Korupsi dalam program bansos era pandemi menjadi contoh nyata.
Ketiga, paradoks politik. Koalisi pemerintahan Prabowo terdiri dari partai dengan kepentingan berbeda. Tekanan untuk memenuhi janji sosialis, seperti kenaikan upah bisa berbenturan dengan agenda pro-pasar yang didukung oligarki partai.
Untuk mengatasi paradoks ini, Prabowo perlu membangun kerangka ekonomi hibrida yang memadukan keadilan sosial dan pertumbuhan berkelanjutan. Pertama, reformasi pajak progresif harus menjadi prioritas. Pemerintah bisa memperluas basis pajak dengan mengenakan tarif lebih tinggi pada korporasi multinasional dan individu superkaya, sesuai teori Thomas Piketty. Dana ini dapat dialokasikan untuk program sosial tanpa mengorbankan insentif investasi.
Kedua, transparansi dan tata kelola yang kuat menjadi kunci. Program sosial harus dikelola melalui platform digital terbuka untuk mencegah kebocoran, seperti sistem verifikasi berbasis data pada kartu Prakerja.
Ketiga, subsidi tidak boleh bersifat konsumtif semata. Program makan gratis, misalnya, perlu diintegrasikan dengan penguatan rantai pasok lokal. Dengan membeli beras dari petani kecil atau susu dari peternak lokal, pemerintah bisa menciptakan multiplier effect bagi ekonomi pedesaan.
Keempat, insentif investasi harus dikaitkan dengan transisi energi terbarukan dan industri ramah lingkungan. Model Green New Deal ala Eropa bisa diadopsi untuk menarik investor global yang berorientasi pada prinsip ESG (Environmental, Social, Governance).