Gugat Masa Jabatan ke MK, Sejumlah Keuchik Aceh Dikecam LSM
INISIATIF.CO, Blangpidie – Gelombang gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan sejumlah kepala desa (keuchik) di Aceh untuk memperpanjang masa jabatan dari enam menjadi delapan tahun, menuai kritik dari LSM Radeelat.
Mereka menilai langkah ini bukan hanya melemahkan keistimewaan Aceh, tapi juga mencerminkan watak kekuasaan yang makin rakus dan kehilangan arah.
“Mereka bicara soal keadilan hukum nasional, padahal lupa bahwa Aceh adalah daerah istimewa yang punya aturan sendiri berdasarkan UUPA. Ini bukan soal kesetaraan, ini soal kekuasaan yang ingin dilanggengkan,” tegas Dasyah, Direktur LSM Radeelat dalam keterangan tertulisnya kepada INISIATIF.CO, Sabtu (3/5/2025).
Aceh, ditegaskan Dasyah, memiliki hak mengatur pemerintahan sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Pasal 115 ayat (3) dengan tegas menyebut masa jabatan keuchik adalah enam tahun. Ketika aturan ini digugat hanya demi memperpanjang masa kekuasaan, maka yang terjadi bukan penguatan otonomi, tapi penghianatan terhadap identitas Aceh.
“Mereka lupa bahwa kekuasaan yang terlalu lama justru membuka ruang penyalahgunaan. Masa jabatan panjang bukan jaminan kemajuan, justru bisa menjadi akar korupsi, nepotisme, dan kemalasan,” kritiknya.
Dasyah menyoroti bagaimana tren manipulasi aturan demi memperpanjang jabatan kini menjalar dari pusat hingga ke gampong. Ini, menurutnya, cerminan dari pemimpin yang gagal memahami esensi kekuasaan.
“Apa bedanya enam dengan delapan tahun? Jika punya niat baik, enam tahun cukup untuk membangun dan menuntaskan program. Tapi kalau orientasinya hanya kekuasaan, sepuluh tahun pun tak akan cukup,” cetusnya.
Menurutnya, gugatan ke MK yang diajukan sebagian keuchik adalah refleksi dari krisis integritas dalam kepemimpinan desa. Alih-alih fokus menuntaskan amanah, mereka sibuk memperjuangkan penambahan masa jabatan.
“Kami khawatir ini jadi preseden buruk. Jika MK mengabulkan gugatan, maka sinyal yang dikirim jelas, kekuasaan bisa diakali, aturan bisa diubah demi kepentingan pribadi,” lanjut Dasyah.
Ia menegaskan, bila Aceh terus mengikuti arus kekuasaan dari pusat dan mengorbankan kekhususannya sendiri, maka tak lama lagi keistimewaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan diplomasi akan hilang tanpa bekas.
“Ini soal prinsip. Jika kepala desa di Aceh tak lagi menjunjung kekhususan daerah ini, maka siapa lagi yang akan mempertahankannya? Jangan rusak tatanan hanya karena tak rela kekuasaan berakhir,” sebut Dasyah.
Masyarakat, tambah Dasyah, harus jeli membaca arah gerak pemimpinnya. Sebab pemimpin yang haus jabatan biasanya lupa siapa yang memilih dan untuk apa ia dipilih.
“Saatnya kembali mengingat bahwa kekuasaan bukan hak, melainkan amanah,” tuturnya.
Sebelumnya, sejumlah Kepala Desa di Aceh mengajukan permohonan uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelima keuchik tersebut adalah Venny Kurnia (Aceh Barat Daya), Syukran (Gayo Lues), Sunandar (Aceh Besar), Badaruddin (Langsa), dan Kadimin (Aceh Selatan).
Mereka menilai adanya ketidakadilan dalam Pasal 115 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).[]