Kurikulum Berbasis Cinta dalam Spirit Ramadan
Rasulullah SAW sendiri menunjukkan kecintaan mendalam kepada tanah kelahirannya, Makkah. Ketika harus hijrah, “Demi Allah, engkau adalah negeri yang paling kucintai. Jika bukan karena pendudukmu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.” (HR. Tirmidzi)
Dengan menanamkan nilai-nilai kebangsaan dalam kurikulum cinta, generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga siap berkontribusi untuk kemajuan bangsanya.

Kurikulum berbasis cinta adalah pendekatan holistik dalam pendidikan yang membangun manusia dari berbagai aspek: spiritualitas, kepedulian sosial, kesadaran ekologis, dan nasionalisme.
Jika keempat pilar ini diterapkan dengan baik, maka pendidikan tidak hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga manusia yang berjiwa kasih, peduli sesama, mencintai lingkungan, dan siap membangun bangsanya. Oleh karenanya Direktur PTKI, Prof Dr Phil H Sahiron, MA dalam arahannya meminta jajaran pimpinan PTKI secepatnya mengadopsi kurikulum berbasis cinta ini sebagai warna baru dalam proses pendidikan agama.
Sebagai catatan pinggir, bahwa bulan Ramadan adalah momentum spiritual yang penuh makna dalam membentuk kesadaran cinta, baik kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, maupun bangsa. Ibadah-ibadah yang dilakukan selama Ramadan bukan sekadar ritual kosong, tetapi memiliki dimensi transformatif yang selaras dengan kurikulum cinta dalam pendidikan.
Ramadan adalah bulan yang penuh dengan pelajaran cinta. Melalui ibadah puasa, zakat, tadarus, dan amal sosial, seseorang tidak hanya membangun hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga memperkuat hubungan horizontal dengan manusia, lingkungan, dan bangsa. Jika nilai-nilai Ramadan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan, maka akan lahir generasi yang memiliki cinta sejati—cinta yang menumbuhkan kebaikan, kasih sayang, kepedulian, dan tanggung jawab sosial.[]
*Penulis adalah Rektor Universitas Islam Negeri Mataram.