Kurikulum Berbasis Cinta dalam Spirit Ramadan
Gagasan ini menjadi sangat relevan di tengah meningkatnya polarisasi sosial dan konflik berbasis identitas. Pendidikan agama yang menitikberatkan pada cinta dan kasih sayang akan melahirkan individu yang tidak hanya memahami agamanya dengan baik, tetapi juga mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.
Dalam konteks kurikulum berbasis cinta, cinta bukan sekadar emosi atau perasaan, melainkan sebuah prinsip moral yang terwujud dalam tindakan nyata.

Salah satu tantangan utama dalam pendidikan agama adalah bagaimana menjadikannya sebagai sumber inspirasi untuk persatuan, bukan alat pemisah yang memperdalam sekat-sekat perbedaan. Pendekatan eksklusif dalam pendidikan agama sering kali hanya menekankan dogma dan ritual tanpa membangun pemahaman akan keberagaman. Kurikulum berbasis cinta mengajarkan bahwa keberagaman adalah fitrah kehidupan (QS. Al-Hujurat: 13) dan harus dihormati, bukan ditakuti.
Ketika peserta didik memahami bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan anugerah, mereka akan lebih siap untuk hidup di tengah pluralitas tanpa rasa curiga atau kebencian. Banyak konflik sosial terjadi karena kurangnya pemahaman dan empati terhadap kelompok yang berbeda. Kurikulum berbasis cinta menekankan bahwa menghormati keberagaman adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar nilai sosial. Dengan pendekatan ini, pendidikan agama tidak hanya membentuk individu yang taat secara spiritual, tetapi juga membangun masyarakat yang harmonis dan damai.
Hakikat dari semua ajaran agama adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Rasulullah SAW diutus sebagai “rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107), bukan hanya bagi kelompok tertentu. Dengan memahami nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran agama, siswa akan lebih berorientasi pada kontribusi sosial, bukan sekadar kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Intinya, bahwa pendidikan agama tidak boleh hanya berhenti pada ritual dan hafalan teks-teks suci. Ia harus berkembang menjadi pendidikan yang menanamkan cinta sebagai fondasi utama dalam beragama dan bermasyarakat. Dengan menerapkan kurikulum berbasis cinta, kita bisa menciptakan generasi yang memahami agamanya dengan mendalam, tetapi tetap terbuka dan penuh kasih sayang terhadap sesama.