Krisis Pendidikan Gaza sebagai Bukti Kejahatan Perang
INISIATIF.CO, Jakarta – Krisis pendidikan di Gaza, yang ditandai dengan hancurnya 85% sekolah dan terhentinya pembelajaran selama dua tahun, kini menjadi pusat telaah dalam gugatan hukum internasional terhadap Israel.
Data yang dirilis Kementerian Pendidikan Gaza—termasuk pembunuhan 1.200 mahasiswa, 150 akademisi, dan penghancuran 140 institusi pendidikan—tidak hanya menggambarkan dampak kemanusiaan, tetapi juga menjadi bukti kunci dalam kasus kejahatan perang dan genosida yang sedang diusung di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ).

Sebuah laporan di Gaza menyebutkan 1.166 lembaga pendidikan dihancurkan secara sistematis, termasuk universitas dan pusat pembelajaran. Pola penghancuran ini mengarah pada pertanyaan kritis: apakah serangan Israel secara sengaja menargetkan infrastruktur pendidikan sebagai bagian dari strategi perang? Jika terbukti, hal ini dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan perang di bawah Statuta Roma ICC, yang melarang serangan terhadap objek sipil, termasuk sekolah dan perguruan tinggi.
Seruan Ahmed Al-Najjar agar organisasi HAM mendokumentasikan kehancuran pendidikan bukan sekadar permintaan bantuan, melainkan upaya mengumpulkan bukti untuk memperkuat kasus di ICC dan ICJ. Setiap data—seperti kerugian Rp32,5 triliun atau korban di kalangan pelajar—dapat digunakan untuk membuktikan “niat genosida” atau kejahatan kemanusiaan, terutama setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk PM Netanyahu dan Yoav Gallant.
Rencana tanggap darurat Gaza, seperti ujian khusus dan sekolah tenda, tidak hanya tentang pemulihan pendidikan, tetapi juga upaya mempertahankan hak belajar sebagai bagian dari hak asasi manusia. Langkah ini memperkuat argumen hukum bahwa Israel telah melanggar kewajiban internasionalnya untuk melindungi warga sipil selama konflik.
Sementara Pemerintah Gaza memprioritaskan rekonstruksi, komunitas internasional dihadapkan pada dua tantangan: memberikan bantuan darurat dan memastikan akuntabilitas hukum. Kerugian ekonomi sebesar $2 miliar di sektor pendidikan menjadi tolok ukur tuntutan reparasi dalam sidang ICJ.
Kehancuran sistem pendidikan tidak hanya mengancam masa depan generasi muda Gaza, tetapi juga menjadi simbol ketidakadilan global. Kasus hukum ini mungkin menjadi preseden bagi konflik masa depan, di mana penghancuran institusi pendidikan dapat diadili sebagai kejahatan terhadap peradaban itu sendiri.
Krisis pendidikan Gaza kini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tetapi ujian bagi sistem hukum internasional dalam menegakkan keadilan bagi korban perang.[]