Kokohkan Pancasila, Majukan Indonesia
INISIATIF.CO – Peringatan Hari Lahir Pancasila 2025 mengusung tema penting: Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya. Tema ini merupakan panggilan moral untuk merefleksikan pentingnya Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai instrumen strategis dalam menjaga Indonesia yang besar dan majemuk.
Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di era Orde Baru, saya mengalami “pendalaman” Pancasila melalui Penataran P-4. Meski disalahpahami sebagai doktrinasi, justru di sini saya mendapatkan kesadaran awal tentang pentingnya Pancasila sebagai pedoman bersama.
Di ruang-ruang kelas, para pengajar dengan sabar menjelaskan sila-sila Pancasila, nilai gotong royong, dan semangat kebangsaan. Saya percaya, pengalaman seperti ini akan membentuk cara pandang warga negara Indonesia dalam memaknai kehidupan.
Dialektika Bangsa
Pancasila lahir dari dialektika sejarah, semangat perjuangan kemerdekaan, dan nilai-nilai luhur bangsa. Para pendiri bangsa, seperti K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Agus Salim, merumuskan Pancasila sebagai jalan tengah yang mengakomodasi aspirasi keberagaman Indonesia.
K.H. Wahid Hasyim pernah menegaskan bahwa Pancasila bukanlah kompromi, tetapi titik temu dari keragaman cita-cita luhur bangsa. Senada, K.H. Agus Salim menyatakan, kita mendirikan negara bukan untuk satu golongan, melainkan untuk semua golongan.
Kita memahami bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan jembatan nilai antara aspirasi Islam dan keberagaman agama-agama di Indonesia.
Pancasila dengan tegas mengakui pentingnya nilai-nilai religius dalam kehidupan berbangsa tanpa harus terjebak pada formalitas negara-agama.
Instrumen Harmonisasi
Dalam konteks sosiologis, Pancasila adalah instrumen harmonisasi keragaman. Emile Durkheim menyebutnya dengan istilah solidaritas organik. Bahwa masyarakat memerlukan integrasi nilai-nilai bersama agar tetap kokoh dalam keberagaman.
Tanpa ideologi pemersatu, bangsa yang plural rentan terjebak dalam konflik dan perpecahan. Nilai-nilai Pancasila seperti toleransi, keadilan, dan persatuan adalah penunjuk arah moral yang membimbing bangsa menghadapi berbagai tantangan ideologi global, ekstremisme, dan radikalisme.
Transformasi Nilai
Sementara itu, Generasi Z dan Generasi Alpha, yang tumbuh di era digital dengan informasi melimpah, memerlukan pendekatan baru dalam memahami dan mengamalkan Pancasila.
Generasi Z (kelahiran 1997–2012) dan Generasi Alfa (kelahiran 2013–2025) diduga memiliki karakteristik kritis, cepat beradaptasi, namun rentan terhadap pengaruh ideologi transnasional, individualisme, dan hedonisme.
Tanpa pendekatan yang tepat, Pancasila hanyalah nomenklatur normatif yang jauh dari kehidupan dua generasi hebat itu.
Oleh karenanya, Pancasila perlu ditransformasikan menjadi nilai-nilai operasional yang relevan dengan dunia nyata generasi ini. Misalnya, gotong royong diinterpretasikan sebagai kolaborasi dalam proyek digital, musyawarah dipraktikkan dalam pengambilan keputusan kelompok, dan keadilan sosial diterapkan dalam kepedulian terhadap isu-isu global seperti lingkungan, kesetaraan gender, dan kemiskinan.
Kurikukum Pancasila
Integrasi Pancasila ke dalam kurikulum pendidikan menjadi langkah strategis. Pancasila bukan mata pelajaran semata, tetapi menjadi landasan filosofis dalam desain pembelajaran lintas disiplin.
Bagaimana guru matematika mengaitkan nilai keadilan sosial dalam pembagian sumber daya, guru sains mengaitkan ekoteologi dalam konservasi lingkungan, dan guru sejarah membangkitkan kesadaran nasionalisme dalam kisah perjuangan bangsa.
Pancasila sebaiknya menjadi way of life–yang dihidupkan di sekolah, madrasah, dan kampus. Bukan diksi tetapi aksi–yang tidak berhenti sebagai seremoni tahunan saja.
Pendidikan Pancasila hendaknya diintegrasikan dalam kurikulum di semua jenjang pendidikan, agar nilai-nilai seperti toleransi, persatuan, dan keadilan benar-benar menjadi karakter dasar generasi penerus bangsa.
Penguatan
Sebetulnya Kementerian Agama RI telah mengambil peran dalam memperkuat nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Mksalnya, melalui program moderasi beragama, pelatihan penguatan wawasan kebangsaan, kurikulum pendidikan agama yang inklusif, dan program dialog lintas agama.
Sehingga di lingkungan ASN, Pancasila bukanlah rentetan retorika. Setiap kebijakan, program, hingga pelayanan publik agar mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Komitmen terhadap toleransi, keadilan, dan kemanusiaan sangat elok jika menjadi standar kerja ASN.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, bahwa 89,1% masyarakat Indonesia masih percaya pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara; namun hanya 56% yang menyatakan telah mengamalkannya secara konsisten. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang besar untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Namun demikian, dalam konteks ASN, komitmen terhadap Pancasila kerap diuji oleh derasnya arus pragmatisme, ketidakpuasan sosial, dan ancaman ideologi radikal.
Survei LIPI (2023) mencatat bahwa 23% ASN di Indonesia menyatakan belum sepenuhnya memahami nilai-nilai Pancasila, sementara 12% lainnya cenderung permisif terhadap narasi intoleransi di lingkungan kerjanya.
Fakta ini menegaskan bahwa penguatan ideologi Pancasila di kalangan ASN tetap menjadi kebutuhan serius agar pelayanan publik selalu berpihak pada kepentingan bangsa, bukan kepentingan kelompok atau golongan.
Living Ideology
Di tengah gejolak globalisasi, fragmentasi identitas, dan munculnya berbagai paham transnasional, maka Pancasila sebaiknya ditempatkan sebagai living ideology—ideologi yang hidup, dipraktikkan, dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Benerapa tahun yang silam, kami mengambil peran dalam memperkokoh ideologi Pancasila. Tahun 2021, kami meluncurkan program Moderasi Beragama sebagai wujud implementasi nilai-nilai Pancasila di bidang keagamaan. Program ini diwujudkan dalam berbagai aksi nyata: pelatihan guru agama dengan insersi kurikulum moderasi beragama, penguatan narasi keagamaan moderat di media sosial, hingga pembentukan Kampung Moderasi Beragama di 34 provinsi.
Cara lainnya, melalui program ASN Mengaji Pancasila, sebuah upaya literasi ideologi bangsa yang mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan pesan-pesan keagamaan–seperti prinsip keadilan, persatuan, dan gotong royong.
Selanjutnya, materi Pancasila pun diintegrasikan dalam program diklat sebagai langkah strategis untuk memastikan bahwa pegawai memahami, menginternalisasi, dan mengamalkan nilai-nilai dasar bangsa.
Dalam konteks inilah, membincangkan Pancasila berarti menjadi pemerhati bangsa–yakni peka terhadap realitas sosial, kritis terhadap kebijakan yang tidak adil, dan aktif menjaga harmoni di tengah keberagaman.
Dengan demikian, Pancasila bukanlah masa lalu, tetapi masa depan kita. Sebagai kompas yang membimbing bangsa menuju Indonesia Raya yang adil, makmur, dan berkeadaban. Selamat Harlah Pancasila.[]
*Penulis adalah Aceng Abdul Azis (Inspektur III pada Inspektorat Jenderal Kementerian Agama RI)