Keuchik di Aceh Dituding Injak UUPA, LSM Radeelat: Nafsu Kekuasaan!
INISIATIF.CO, Blangpidie – Langkah sejumlah kepala desa (keuchik) di Aceh yang menggugat masa jabatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kritik tajam. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Radeelat menyebut upaya itu sebagai bentuk nyata nafsu kekuasaan yang mengabaikan keistimewaan Aceh sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Gugatan para keuchik bertujuan menyamakan masa jabatan mereka menjadi delapan tahun, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 yang berlaku nasional. Padahal, UUPA jelas mengatur masa jabatan keuchik di Aceh selama enam tahun dalam Pasal 115 ayat (3).
“Ini bukan sekadar soal masa jabatan. Ini soal menginjak marwah UUPA, soal identitas Aceh yang perlahan dikikis hanya karena ambisi kekuasaan,” tegas Dasyah, aktivis LSM Radeelat, di Blangpidie, Sabtu (5/5/2025).
Menurutnya, gugatan itu menunjukkan kecenderungan sebagian pemimpin desa yang ikut-ikutan budaya manipulasi kekuasaan dari level atas. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai bagian dari tren buruk yang tengah menjalar ke berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk gampong.
“Ketika pusat memberi contoh merubah aturan demi mempertahankan kekuasaan, pemimpin di bawah ikut meniru. Ini lingkaran setan yang harus diputus. Keuchik seharusnya melayani, bukan menguasai,” kritiknya.
Reedelat menilai, dalih bahwa masa jabatan delapan tahun akan membuat keuchik lebih leluasa membangun desa adalah argumen semu. Bagi Dasyah dkk, keberhasilan pembangunan tidak ditentukan oleh lamanya masa jabatan, melainkan pada integritas, visi, dan komitmen pemimpin itu sendiri.
“Kalau seorang keuchik memang punya niat tulus membangun, enam tahun itu cukup. Yang tidak cukup itu adalah kemauan dan integritas,” tegasnya lagi.
Ia pun mengingatkan, UUPA bukan sekadar simbol hukum, tetapi fondasi istimewa yang selama ini membedakan Aceh dari daerah lain. Ketika pemimpin desa sendiri yang merongrongnya, maka kekhususan Aceh perlahan akan tergerus.
“Kalau semua ingin diseragamkan dengan pusat, lalu buat apa Aceh diberi otonomi khusus? Jangan jual keistimewaan demi tahta,” ujar Dasyah.
LSM Reedelat meminta MK menolak gugatan tersebut dan menyerukan agar para keuchik fokus menggunakan masa jabatan enam tahun dengan sebaik-baiknya untuk melayani rakyat, bukan memperjuangkan perpanjangan kekuasaan.
“Pemerintah gampong jangan terjebak dalam logika kekuasaan. Yang dibutuhkan masyarakat adalah pelayanan dan keadilan, bukan pemimpin yang bernafsu bertahan di kursi lebih lama,” pungkas Dasyah.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah Kepala Desa di Aceh mengajukan permohonan uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelima keuchik tersebut adalah Venny Kurnia (Aceh Barat Daya), Syukran (Gayo Lues), Sunandar (Aceh Besar), Badaruddin (Langsa), dan Kadimin (Aceh Selatan).
Mereka menilai adanya ketidakadilan dalam Pasal 115 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).[]