Keteladanan Bobby Nasution dan Jalan Damai Empat Pulau Sengketa
INISIATIF.CO, Editorial – Di tengah memanasnya isu sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, satu peristiwa menarik perhatian dan pantas diapresiasi secara luas ialah langkah berani Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, yang memilih untuk datang langsung menemui Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem).
Kunjungan Bobby ini bukan semata kunjungan silaturahmi biasa. Ia terjadi di tengah riuh rendah kegelisahan warga Aceh, pasca terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri, nomor 300.2.2-2138/2025 yang menetapkan Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan sebagai wilayah administrasi Sumatera Utara.
Sikap tersebut bukan sekadar representasi dari upaya meredakan ketegangan, tetapi juga memperlihatkan bentuk kepemimpinan yang berani, terbuka, dan tidak reaktif terhadap tekanan politik atau opini publik.
Jika kita merujuk pada teori manajemen konflik dari Thomas dan Kilmann (1974), terdapat lima gaya dalam merespons konflik, yakni competing, accommodating, avoiding, compromising, dan collaborating. Kunjungan Bobby jelas bukan bentuk “competing” atau “avoiding”, ia tidak menghindar, juga tidak bersikeras memaksakan kehendak.
Gaya yang ia pakai mendekati pendekatan collaborating, yaitu mencari solusi bersama, dengan komunikasi terbuka dan respek terhadap perbedaan. Ia mengambil jalan tengah yang dewasa, berupaya menjembatani keresahan masyarakat Aceh dengan kepentingan administratif provinsinya sendiri, sembari tetap menghormati figur lokal Aceh yang kerap dianggap simbol perjuangan keacehan.
Langkah ini sangat berarti karena membalik narasi yang telanjur dibentuk, bahwa ini adalah konflik zero-sum antara Aceh dan Sumut. Padahal, empat pulau yang dipersoalkan tidak hanya soal administratif, tapi juga menyangkut identitas, sejarah, hingga aspek geopolitik dan ekonomi ke depan. Bobby tampaknya memahami bahwa memanusiakan konflik lebih penting dari sekadar memenangkan konflik.
Bukan Soal Pulau Saja, Ini Tentang Martabat
Sikap Bobby memberi contoh bahwa konflik administrasi wilayah tidak harus menjadi batu pemecah hubungan antardaerah. Narasi yang berkembang di sebagian kalangan di Aceh bahwa “tanah kami diambil paksa” bisa dipahami dari kaca mata historis. Keempat pulau itu, menurut data yang disampaikan Senator Azhari Cage, telah tercatat dalam dokumen agraria Aceh sejak 1965. Bahkan ada kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut, yang disaksikan Mendagri, yang mempertegas pengelolaan wilayah tersebut.
Namun, keputusan sepihak dari pusat justru menciptakan luka administratif yang dirasa mencederai kepercayaan. Maka dari itu, kedatangan Bobby adalah penawar sementara, bahwa pintu dialog masih terbuka, dan yang terpenting, bahwa warga Aceh tidak sendirian menghadapi ketidakadilan struktural ini.
Di sisi lain, Pemerintah Aceh juga perlu mengambil langkah yang tidak kalah bijak. Meskipun secara politis wajar jika Aceh bereaksi keras terhadap keluarnya keputusan pusat, namun respons emosional tidak cukup untuk menghadirkan hasil jangka panjang. Yang lebih penting saat ini adalah memperkuat argumen yuridis dan historis dalam satu naskah posisi resmi yang dapat disampaikan kepada pemerintah pusat. Alih-alih melawan Sumut, Aceh justru harus mengajak Sumut sebagai mitra strategis dalam menyampaikan koreksi terhadap keputusan Kemendagri.
Hal yang tak kalah penting adalah meningkatkan kehadiran negara dalam arti praktis di keempat pulau tersebut. Aktivitas pelayanan, pengembangan ekonomi, hingga perkuatan identitas masyarakat setempat perlu ditingkatkan. Dengan kata lain, pulau-pulau ini tidak hanya harus dipertahankan dalam administrasi, tetapi juga harus dirawat secara nyata. Di sinilah Pemerintah Aceh bisa menunjukkan bahwa mereka bukan hanya pandai berargumentasi, tetapi juga berdaya dalam implementasi.
Apa yang ditunjukkan Bobby Nasution adalah contoh pemimpin yang tidak hanya berpikir administratif, tapi juga humanis. Ia menyadari bahwa potensi konflik sosial jauh lebih berbahaya dari sekadar garis di peta. Kepemimpinannya yang tenang, ksatria, dan komunikatif menghadirkan preseden baru dalam dinamika hubungan antarwilayah, bahwa ketegangan bisa disikapi dengan keteduhan, dan konflik bisa didekati dengan rasa hormat.
Akhirnya, keteladanan ini seharusnya tidak berhenti pada satu kunjungan semata. Pemerintah pusat harus melihatnya sebagai momentum untuk mengevaluasi pendekatan top-down dalam pengambilan keputusan menyangkut batas wilayah yang sensitif. Karena jika tidak dikelola dengan bijak, luka administratif bisa bertransformasi menjadi luka identitas. Dan luka identitas, sejarah telah membuktikan, tak mudah disembuhkan.
Semoga ke depan, semangat kolaboratif yang ditunjukkan Bobby bisa menjadi inspirasi bagi para pemimpin lainnya, untuk tak hanya menjadi pengatur wilayah, tapi juga penjaga harmoni rakyatnya. (Tim Redaksi).