Kesejahteraan Guru, Janji yang Masih Terabaikan
Janji Presiden, Harapan Guru
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (Kornas P2G), Satriawan Salim, turut menyuarakan kegelisahan yang sama. Ia mengingatkan Presiden Prabowo Subianto akan janji yang tercantum dalam Asta Cita untuk memperbaiki standar gaji dan perlindungan terhadap guru non-ASN dan honorer.
“Kami berharap guru-guru non-ASN diperhatikan secara serius,” kata Satriawan. Ia menyebut, jika Presiden Prabowo benar-benar menetapkan upah minimum guru dalam bentuk regulasi, hal itu akan menjadi catatan sejarah besar bagi dunia pendidikan Indonesia.
Pernyataan Satriawan membuka satu dimensi penting lainnya: politisasi pendidikan. Selama ini, janji-janji pendidikan kerap dikumandangkan saat kampanye, namun implementasinya nyaris selalu tertunda, terganjal oleh alasan anggaran atau birokrasi. Padahal, jika kesejahteraan guru benar-benar dianggap sebagai investasi peradaban, bukan sekadar beban anggaran, tentu keberpihakan akan tampak lebih nyata.
Guru adalah Pilar Peradaban
Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia mencatat bahwa kemajuan selalu dimulai dari ruang kelas. Pendidikan adalah kendaraan utama menuju peradaban. Tapi kendaraan ini tidak bisa berjalan tanpa pengemudi—dan pengemudinya adalah guru. Ketika mereka disepelekan, maka pendidikan kehilangan arah. Ketika mereka ditinggalkan, maka masa depan bangsa dipertaruhkan.
Indonesia telah menetapkan cita-cita besar: menjadi negara maju pada 2045, bertepatan dengan satu abad kemerdekaan. Namun, tidak akan ada Indonesia Emas tanpa guru-guru yang kuat, bermartabat, dan berdaya. Tidak akan ada generasi unggul jika yang membimbing mereka terus hidup dalam ketidakpastian.
Maka, Hardiknas tahun ini harus menjadi titik balik. Pemerintah pusat dan daerah tidak cukup hanya memberikan ucapan selamat atau slogan manis. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret: regulasi yang melindungi guru, sistem penggajian yang adil, pelatihan yang sistematis, dan pengawasan terhadap implementasi anggaran pendidikan.
Pendidikan Bukan Sekadar Kurikulum
Dalam dunia yang terus bergerak cepat ini, pendidikan sering kali dilihat dari sisi teknis: kurikulum, ujian, teknologi. Tapi kita lupa, bahwa jantung pendidikan ada pada guru. Mereka bukan robot yang bisa bekerja di bawah tekanan tanpa motivasi. Mereka adalah manusia biasa yang memerlukan pengakuan, penghargaan, dan perlindungan.
Hardiknas 2025 adalah momentum. Momentum untuk menyadari bahwa kesejahteraan guru bukan sekadar angka di slip gaji, tapi fondasi bagi seluruh bangunan masa depan bangsa. Jika kita benar mencintai Indonesia, seperti kata Prof. Unifah, maka seharusnya cinta itu kita wujudkan dengan memperlakukan guru seperti pahlawan yang sesungguhnya.[]