ANTINARKOBA

Kesejahteraan Guru, Janji yang Masih Terabaikan

Hari Pendidikan NAsional 2025. (Istimewa).

INISIATIF.CO – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2025 kembali dirayakan dengan gegap gempita. Upacara, seminar, hingga kampanye digital digelar dengan satu semangat, yakni memuliakan pendidikan.

Namun di balik semarak seremonial itu, suara lirih para pendidik masih terdengar, menuntut perhatian yang lebih dari sekadar pujian sesaat. Persoalan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru masih menjadi pekerjaan rumah besar yang belum tuntas ditangani oleh negara.

Dalam siniar Menjadi Indonesia yang tayang di kanal YouTube NU Online, Ketua Umum PB PGRI, Prof. Unifah Rosyidi, menyampaikan pesan yang menyentuh dan sekaligus menohok.

“Bagi kami, kesejahteraan dan kualitas adalah dua hal yang sangat penting. Mengapa? Karena kami mencintai Indonesia. Kalau kita ingin mewujudkan Indonesia Maju, Indonesia Emas, maka kualitas guru harus terus ditingkatkan.”

Namun, peningkatan kualitas ini tidak bisa berjalan sendiri. Tanpa kesejahteraan, guru tidak akan mampu sepenuhnya mengembangkan dirinya secara optimal. Bagaimana mungkin seorang guru dapat fokus mendidik generasi bangsa, jika untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga saja masih harus berjuang keras dengan penghasilan yang minim dan tidak menentu?

Kesejahteraan sebagai Pondasi Mutu

Pernyataan Prof. Unifah menegaskan sebuah premis dasar yang sebenarnya sudah lama menjadi kesadaran kolektif: guru yang sejahtera akan menjadi guru yang berkualitas. Namun, mengapa realitas di lapangan justru kerap menampakkan wajah sebaliknya? Guru, terutama non-ASN, honorer, dan guru swasta, masih banyak yang hidup dalam keterbatasan, menerima honor di bawah upah minimum, tanpa jaminan kesehatan, apalagi pensiun.

Ironisnya, ketika kualitas pendidikan nasional mengalami stagnasi, guru sering kali dijadikan kambing hitam. “Dananya sangat kecil untuk meningkatkan kualitas guru. Kemudian, gurunya tidak mau belajar, enak banget, nyalahin guru lagi,” ujar Prof. Unifah. Ungkapan ini bukan sekadar keluhan, tetapi cermin dari sistem pendidikan yang belum berpihak secara adil kepada mereka yang berada di garda depan.

Di tengah keterbatasan, PGRI tidak tinggal diam. Melalui pembentukan Smart Learning and Character Center dan Teacher Learning Circle, organisasi ini berupaya menjangkau guru-guru hingga pelosok negeri untuk mendapatkan pelatihan berkelanjutan. Inisiatif ini patut diapresiasi, namun tetap tidak bisa menggantikan peran negara dalam memberikan jaminan pelatihan yang menyeluruh dan merata bagi semua pendidik.

Komitmen 20 persen anggaran pendidikan dari APBN, seperti diamanatkan oleh konstitusi, seharusnya menjadi instrumen kuat untuk mendukung program-program peningkatan mutu guru. Namun fakta di lapangan masih menunjukkan bahwa alokasi itu lebih banyak terserap untuk pembangunan fisik, belanja birokrasi, atau pengadaan proyek-proyek digital yang tidak semuanya menjawab kebutuhan riil guru dan siswa.

Janji Presiden, Harapan Guru

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (Kornas P2G), Satriawan Salim, turut menyuarakan kegelisahan yang sama. Ia mengingatkan Presiden Prabowo Subianto akan janji yang tercantum dalam Asta Cita untuk memperbaiki standar gaji dan perlindungan terhadap guru non-ASN dan honorer.

“Kami berharap guru-guru non-ASN diperhatikan secara serius,” kata Satriawan. Ia menyebut, jika Presiden Prabowo benar-benar menetapkan upah minimum guru dalam bentuk regulasi, hal itu akan menjadi catatan sejarah besar bagi dunia pendidikan Indonesia.

Pernyataan Satriawan membuka satu dimensi penting lainnya: politisasi pendidikan. Selama ini, janji-janji pendidikan kerap dikumandangkan saat kampanye, namun implementasinya nyaris selalu tertunda, terganjal oleh alasan anggaran atau birokrasi. Padahal, jika kesejahteraan guru benar-benar dianggap sebagai investasi peradaban, bukan sekadar beban anggaran, tentu keberpihakan akan tampak lebih nyata.

Guru adalah Pilar Peradaban

Sejarah bangsa-bangsa besar di dunia mencatat bahwa kemajuan selalu dimulai dari ruang kelas. Pendidikan adalah kendaraan utama menuju peradaban. Tapi kendaraan ini tidak bisa berjalan tanpa pengemudi—dan pengemudinya adalah guru. Ketika mereka disepelekan, maka pendidikan kehilangan arah. Ketika mereka ditinggalkan, maka masa depan bangsa dipertaruhkan.

Indonesia telah menetapkan cita-cita besar: menjadi negara maju pada 2045, bertepatan dengan satu abad kemerdekaan. Namun, tidak akan ada Indonesia Emas tanpa guru-guru yang kuat, bermartabat, dan berdaya. Tidak akan ada generasi unggul jika yang membimbing mereka terus hidup dalam ketidakpastian.

Maka, Hardiknas tahun ini harus menjadi titik balik. Pemerintah pusat dan daerah tidak cukup hanya memberikan ucapan selamat atau slogan manis. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret: regulasi yang melindungi guru, sistem penggajian yang adil, pelatihan yang sistematis, dan pengawasan terhadap implementasi anggaran pendidikan.

 Pendidikan Bukan Sekadar Kurikulum

Dalam dunia yang terus bergerak cepat ini, pendidikan sering kali dilihat dari sisi teknis: kurikulum, ujian, teknologi. Tapi kita lupa, bahwa jantung pendidikan ada pada guru. Mereka bukan robot yang bisa bekerja di bawah tekanan tanpa motivasi. Mereka adalah manusia biasa yang memerlukan pengakuan, penghargaan, dan perlindungan.

Hardiknas 2025 adalah momentum. Momentum untuk menyadari bahwa kesejahteraan guru bukan sekadar angka di slip gaji, tapi fondasi bagi seluruh bangunan masa depan bangsa. Jika kita benar mencintai Indonesia, seperti kata Prof. Unifah, maka seharusnya cinta itu kita wujudkan dengan memperlakukan guru seperti pahlawan yang sesungguhnya.[]

Editor : Tim Redaksi
Tutup