Kepemimpinan KONI Abdya Dibegal
Ketiga, masalah anggaran tidak transparan dan minimnya perhatian pada atlet lokal memang harus diselesaikan, tetapi caranya harus proporsional. Tuntutan audit oleh BPK atau inspektorat adalah solusi logis. Namun, meminta Pemkab menunda pencairan dana hibah 2025 justru berisiko melumpuhkan aktivitas olahraga yang sedang berjalan. Apalagi, Abdya tengah mempersiapkan Pra-PORA dan PORA 2025. Langkah ini harus dihindari karena bisa menjadi bumerang. Alih-alih menyelamatkan olahraga, kebijakan emosional malah merugikan atlet dan pelatih yang tidak bersalah.
Terakhir, masyarakat Abdya layak diapresiasi karena kritis terhadap kinerja lembaga publik. Namun, kritik harus disampaikan dengan cara elegan, melalui dialog, audit partisipatif, atau jalur hukum jika ada indikasi pelanggaran. Bukan dengan menciptakan narasi permusuhan atau mem-politisasi isu olahraga untuk meraih simpati.
Jika Romi terbukti salah, proses pergantian harus dilakukan sesuai AD/ART KONI, bukan dengan cara licik yang mengorbankan masa depan atlet.
Olahraga Abdya tidak boleh menjadi korban perebutan kekuasaan yang dibungkus retorika “menyelamatkan olah raga Abdya “. Jika Komite Penyelamat Olahraga benar-benar tulus, mereka harus mengedepankan musyawarah, transparansi, dan kolaborasi, bukan provokasi. KONI Abdya hanya akan kuat jika dikelola oleh mereka yang menghargai proses, bukan yang gemar “membegal” untuk memuaskan ambisi.
Sudah saatnya semua pihak belajar menghormati institusi KONI, karena hanya dengan cara itu, olahraga Aceh Barat Daya bisa bangkit dan berprestasi.[]