Kepemimpinan KONI Abdya Dibegal
INISIATIF.CO, Abdya – Konflik internal di tubuh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang dimotori oleh Komite Penyelamat Olahraga Abdya patut menjadi perhatian.
Sebanyak 17 cabang olahraga mengajukan mosi tidak percaya terhadap Ketua KONI Abdya, Romi Syah Putra, dengan dalih masalah pengelolaan anggaran tidak transparan, minimnya pembinaan atlet lokal, serta absennya sinergi strategis antara pengurus dan cabang olahraga.

Meski tuntutan audit dan evaluasi kinerja sah secara prosedural, langkah ini harus dikritisi secara mendalam, apakah ini murni untuk kepentingan olahraga, atau ada aroma politis yang mengganggu integritas dunia sportivitas?
Pertama, olahraga dan politik harus tetap berada di jalurnya masing-masing. Olahraga adalah ruang netral yang bertujuan memajukan prestasi, membangun karakter, dan mempersatukan masyarakat. Politik, dengan segala dinamika kekuasaannya, tidak boleh merasuk ke dalamnya.
Dalam kasus KONI Abdya, perlu diwaspadai jika mosi tidak percaya ini merupakan bentuk “balas dendam politik” terhadap Romi Syah Putra, dimana pada Pilkada lalu merupakan lawan politik penguasa hari ini. Jika benar demikian, ini adalah contoh buruk dari penggunaan isu olahraga sebagai alat untuk menjatuhkan rival politik. Masyarakat Abdya, yang dikenal cerdas secara politik, tentu tak mudah dijadikan “tameng” untuk kepentingan segelintir elite.
Kedua, transisi kepemimpinan harus dilakukan melalui mekanisme yang bijak dan berintegritas. Komite Penyelamat Olahraga menuntut pencopotan Romi secara instan dan pengambilalihan KONI oleh pihak KONI Aceh. Namun, jika langkah ini ditempuh dengan cara “membegal” atau memanipulasi opini publik—seperti menggelar konferensi pers yang dramatis tanpa dialog terbuka terlebih dahulu—maka yang terjadi adalah perampasan kekuasaan, bukan perbaikan.
KONI Abdya adalah lembaga strategis, bukan medan perang politik. Setiap transisi harus melalui Musyawarah Kabupaten Luar Biasa (Mukernas LB) yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, bukan dengan tekanan sepihak.
Ketiga, masalah anggaran tidak transparan dan minimnya perhatian pada atlet lokal memang harus diselesaikan, tetapi caranya harus proporsional. Tuntutan audit oleh BPK atau inspektorat adalah solusi logis. Namun, meminta Pemkab menunda pencairan dana hibah 2025 justru berisiko melumpuhkan aktivitas olahraga yang sedang berjalan. Apalagi, Abdya tengah mempersiapkan Pra-PORA dan PORA 2025. Langkah ini harus dihindari karena bisa menjadi bumerang. Alih-alih menyelamatkan olahraga, kebijakan emosional malah merugikan atlet dan pelatih yang tidak bersalah.
Terakhir, masyarakat Abdya layak diapresiasi karena kritis terhadap kinerja lembaga publik. Namun, kritik harus disampaikan dengan cara elegan, melalui dialog, audit partisipatif, atau jalur hukum jika ada indikasi pelanggaran. Bukan dengan menciptakan narasi permusuhan atau mem-politisasi isu olahraga untuk meraih simpati.
Jika Romi terbukti salah, proses pergantian harus dilakukan sesuai AD/ART KONI, bukan dengan cara licik yang mengorbankan masa depan atlet.
Olahraga Abdya tidak boleh menjadi korban perebutan kekuasaan yang dibungkus retorika “menyelamatkan olah raga Abdya “. Jika Komite Penyelamat Olahraga benar-benar tulus, mereka harus mengedepankan musyawarah, transparansi, dan kolaborasi, bukan provokasi. KONI Abdya hanya akan kuat jika dikelola oleh mereka yang menghargai proses, bukan yang gemar “membegal” untuk memuaskan ambisi.
Sudah saatnya semua pihak belajar menghormati institusi KONI, karena hanya dengan cara itu, olahraga Aceh Barat Daya bisa bangkit dan berprestasi.[]