ANTINARKOBA

Kasus Satriya Kumbara Jadi Pelajaran, Kemenhan: Waspadai Tawaran Gabung Militer Asing

Satriya Arta Kumbara, mantan prajurit Marinir TNI AL yang kini bergabung dengan militer Rusia, menyampaikan keinginannya untuk pulang ke Indonesia dan bertemu keluarganya, meski status kewarganegaraannya telah dicabut. (Foto: Republika).

INISIATIF.CO, Jakarta – Kasus Satriya Arta Kumbara, mantan prajurit Marinir TNI AL yang kehilangan status kewarganegaraan Indonesia karena bergabung dalam militer Rusia, menjadi sorotan Kementerian Pertahanan RI.

Pemerintah mengingatkan publik, khususnya prajurit aktif dan purnawirawan TNI, untuk tidak gegabah menerima tawaran bergabung dengan angkatan bersenjata asing, terlebih yang terlibat dalam konflik bersenjata.

Kepala Biro Informasi dan Hubungan Antarlembaga (Infohan) Setjen Kemenhan RI, Brigjen Frega Wenas Inkiriwang, menyebut keputusan Satriya Kumbara menjadi pelajaran penting. Ia menegaskan, status Satriya sebagai warga negara Indonesia (WNI) telah dicabut sesuai hukum yang berlaku.

“Tentunya kita ikut arahan Presiden. Statusnya sudah dicabut. Kita serahkan ke Kementerian Luar Negeri untuk dikomunikasikan. Statusnya bukan lagi WNI, dan kita patuh pada kebijakan negara,” ujar Brigjen Frega di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Satriya, yang dulunya berpangkat Sersan Dua (Serda) dan pernah bertugas di Inspektorat Korps Marinir (Itkomar) Cilandak, kini berada di Ukraina dan mengaku kesulitan untuk pulang. Ia menyampaikan keinginannya untuk bertemu putrinya di Indonesia, dan berharap bisa berkomunikasi langsung dengan Menteri Luar Negeri RI, Sugiono.

Melalui unggahan video di akun TikTok pribadinya, Satriya menyampaikan permohonan maaf dan mengaku khilaf telah menjadi tentara organik Rusia dalam konflik yang masih berlangsung. Ia juga mengirim pesan terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Menlu Sugiono, meminta kesempatan untuk kembali ke tanah air.

Namun, Brigjen Frega menegaskan bahwa keputusan bergabung dengan militer asing, apalagi dalam situasi perang aktif, merupakan pelanggaran serius yang membawa konsekuensi hukum.

“Statusnya kini adalah individu yang terlibat konflik bersenjata sebagai bagian dari kekuatan asing. Kami mengimbau masyarakat, terutama eks prajurit, untuk berhati-hati dengan segala bentuk tawaran serupa,” tegasnya.

Ia juga menyebut bahwa tindakan Satriya tergolong sebagai bentuk desersi dari TNI, dan negara tidak akan mentolerir tindakan serupa di masa depan.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri RI masih menelaah lebih lanjut kemungkinan diplomasi terkait nasib Satriya. Namun hingga saat ini, belum ada sinyal resmi bahwa status kewarganegaraannya akan dipulihkan.

Satriya sendiri mengaku tindakannya dilakukan karena alasan pribadi, termasuk kerinduan terhadap keluarganya. Namun hukum tetap berlaku, dan Indonesia kini tengah memperkuat pengawasan terhadap warganya yang berada di zona konflik.

Kasus ini menjadi alarm bagi pemerintah dan publik bahwa globalisasi tidak hanya membawa peluang, tetapi juga risiko. Tawaran pekerjaan atau “misi kemanusiaan” dari luar negeri, apalagi yang berkaitan dengan konflik bersenjata, harus ditanggapi dengan penuh kewaspadaan.

Kemenhan mengajak masyarakat untuk lebih sadar hukum dan konsekuensi politik dari tindakan individu, terutama dalam konteks geopolitik yang kompleks seperti perang Rusia-Ukraina.[]

Editor : Yurisman
inisiatifberdampak
Tutup