Integrasi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Zakat di Abdya
*Oleh: Muhammad Ikbal Fanika, M.Sos
INISIATIF.CO – Zakat adalah instrumen ekonomi Islam yang memiliki kekuatan strategis dalam menciptakan pemerataan kesejahteraan. Dalam pandangan syariah, zakat bukan hanya ibadah ritual, melainkan juga sistem distribusi kekayaan yang dirancang untuk memutus rantai kemiskinan.
Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sebagai salah satu daerah dengan potensi zakat yang besar, memiliki peluang untuk menjadikan zakat sebagai instrumen utama dalam program pengentasan kemiskinan, jika dikelola secara terintegrasi dan berbasis data yang valid.
Selama ini, pendekatan pengentasan kemiskinan di banyak daerah, termasuk Abdya, masih mengandalkan skema bantuan sosial yang bersifat jangka pendek dan konsumtif. Bantuan semacam ini memang dapat memberikan kelegaan sementara, tetapi sering kali gagal mengubah kondisi ekonomi mustahik secara berkelanjutan.
Di sinilah peran zakat menjadi relevan, bukan sekadar untuk membantu, tetapi untuk mengubah keadaan. Dengan memanfaatkan zakat secara produktif, mustahik dapat didorong untuk keluar dari garis kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi, pelatihan keterampilan, dan dukungan modal usaha.
Integrasi zakat dalam program pengentasan kemiskinan memerlukan sinergi antara Badan Baitul Mal, pemerintah daerah (Pemkab), dan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah memiliki data kemiskinan yang terperinci melalui indikator resmi seperti BPS (ada sekitar 24.44 ribu orang atau 15.32% penduduk miskin di Abdya), sedangkan Baitul Mal memiliki basis data muzaki dan mustahik yang dapat dioptimalkan untuk menyalurkan zakat secara tepat sasaran. Tanpa integrasi data, risiko tumpang tindih penerima manfaat akan besar, yang pada akhirnya membuat program kurang efektif.
Selain data, model pengelolaan zakat juga harus berubah dari pola konsumtif menjadi produktif. Pola konsumtif yang hanya memberikan bantuan sembako atau santunan tunai memang dibutuhkan dalam situasi darurat, namun untuk jangka panjang dibutuhkan program pemberdayaan. Misalnya, zakat dapat disalurkan dalam bentuk modal usaha tani, pelatihan keterampilan kerja, atau investasi alat produksi untuk nelayan. Skema ini telah terbukti berhasil di beberapa daerah lain di Indonesia yang mengintegrasikan zakat dengan program pemberdayaan ekonomi berbasis potensi lokal.
Dari perspektif akademis, integrasi zakat dalam pengentasan kemiskinan juga sejalan dengan teori pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Zakat yang dikelola secara terstruktur mampu mendukung pencapaian beberapa tujuan SDGs, terutama tujuan menghapus kemiskinan (No Poverty) dan mengurangi kesenjangan (Reduced Inequalities).
Secara normatif, Al-Qur’an dalam Surah At-Taubah ayat 60 telah menetapkan delapan golongan penerima zakat, salah satunya adalah fakir miskin. Ini menunjukkan legitimasi syariah yang kuat bahwa zakat memang memiliki mandat untuk mengentaskan kemiskinan.
Namun, tantangan terbesar dalam implementasi integrasi ini adalah lemahnya literasi zakat di tengah masyarakat. Banyak muzaki yang belum memahami bahwa zakat bukan sekadar kewajiban tahunan, tetapi investasi sosial untuk kesejahteraan bersama. Demikian pula, sebagian mustahik masih memandang zakat hanya sebagai bantuan sesaat, bukan modal perubahan hidup. Oleh karena itu, strategi edukasi publik menjadi penting, baik melalui dakwah, media massa, maupun kolaborasi dengan tokoh masyarakat.
Abdya memiliki potensi zakat yang besar jika dihitung dari total pendapatan masyarakat muslimnya. Berdasarkan estimasi kasar, jika potensi tersebut dihimpun secara maksimal dan dikelola secara produktif, sebagian besar warga miskin dapat bertransformasi menjadi kelompok ekonomi mandiri dalam beberapa tahun.
Untuk itu, integrasi program pengentasan kemiskinan melalui zakat harus dimulai dari pembenahan sistem pendataan, penegakan kewajiban zakat, penguatan manajemen Baitul Mal, dan perancangan program pemberdayaan yang berkelanjutan.
Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan konsisten, maka zakat bukan lagi sekadar ritual, melainkan instrumen strategis pembangunan daerah. Abdya berpeluang menjadi contoh sukses penerapan zakat sebagai solusi nyata pengentasan kemiskinan, sekaligus mengembalikan fungsi zakat sebagaimana dicontohkan pada masa kejayaan peradaban Islam—di mana zakat bukan hanya membantu yang lemah, tetapi membebaskan mereka dari kemiskinan selamanya.
*Penulis adalah dosen Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Dewan Pengawas Baitul Mal Kabupaten Aceh Barat Daya.