Ramadhan

Imbas Kebijakan AS dan Liberalisasi Impor, Harga Kopi Gayo Diprediksi Anjlok

Petani kopi Gayo di Aceh sedang menjemur biji kopi usai panen. Ancaman tarif impor AS 32% dan banjir kopi Vietnam diprediksi mengguncang harga, membuat pendapatan mereka terancam merosot. (Sumber foto: MPKG).

INISIATIF.CO, Banda Aceh — Kebijakan tarif impor 32% yang akan diterapkan Amerika Serikat (AS) terhadap produk Indonesia mulai Juli mendatang mengancam kelangsungan hidup petani kopi Gayo. 

Meski pemberlakuannya diundur tiga bulan, tarif sementara 10% yang berlaku sejak April telah memicu kekhawatiran pelaku usaha. Armiyadi, pemilik Asa Coffee dan pelaku industri kopi Gayo, memprediksi harga komoditas ini bakal anjlok hingga 32% jika kebijakan AS benar-benar diterapkan.

“Buyer AS tidak mungkin menanggung beban tarif ini. Mereka akan membebankannya ke petani dengan memangkas harga beli,” ujar Armiyadi kepada wartawan, Minggu (13/4/2025). 

AS merupakan pasar terbesar kopi Gayo, menyerap 50,7% produksi. Penurunan harga ini, menurutnya, akan memperparah kondisi petani yang sudah tertekan lesunya permintaan global.

Armiyadi mengkhawatirkan dua faktor yang saling memperburuk situasi. Pertama, tarif AS membuat ekspor kopi Indonesia ke Negeri Paman Sam semakin mahal, sehingga pembeli beralih ke pasar lain. Kedua, kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membuka kran impor tanpa batas berpotensi membanjiri pasar domestik dengan kopi Vietnam—produsen kedua terbesar dunia—yang juga terkena tarif AS sebesar 46%.

“Vietnam akan mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia. Jika impor kopi Vietnam dibiarkan tanpa regulasi, harga kopi robusta lokal bisa jatuh ke level Rp30.000/kg dari harga saat ini yang lebih tinggi,” jelasnya. Situasi ini, menurut Armiyadi, ibarat “petani jatuh tertimpa tangga”, terhantam tarif AS sekaligus kalah bersaing dengan produk impor murah.

Dampak kebijakan tarif Trump tidak hanya dirasakan di sektor kopi. Ekonom memprediksi resesi ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2025 akibat penurunan ekspor, melemahnya nilai tukar rupiah, dan gelombang PHK di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Bhima Yudhistira dari Celios menyebut, setiap penurunan 1% pertumbuhan ekonomi AS akan mengurangi 0,08% pertumbuhan Indonesia. Sektor kopi, yang menjadi tulang punggung ekonomi Aceh, berpotensi memicu gejolak sosial jika pendapatan petani terus merosot.

Pemerintah Indonesia hingga kini memilih tidak membalas tarif AS secara langsung. Sebaliknya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengandalkan diversifikasi pasar melalui kerja sama regional seperti RCEP dan peningkatan belanja domestik. Namun, Armiyadi menilai strategi ini belum menyentuh akar masalah. 

“Pemerintah harus melindungi petani dengan regulasi impor yang ketat, bukan malah membuka keran lebar-lebar,” tegasnya.

Di sisi lain, upaya diplomasi dagang dengan AS masih berjalan. Pemerintah tengah merevitalisasi perjanjian TIFA yang telah kadaluarsa sejak 1996 dan menawarkan insentif fiskal untuk menarik investasi AS di sektor teknologi. Namun, langkah ini dinilai terlalu lambat dibandingkan kecepatan Vietnam dalam merespons perang dagang AS-China pada 2019.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor kopi Indonesia ke AS pada 2024 mencapai US$2,4 miliar. Namun, dengan tarif 32%, nilai ini diprediksi menyusut drastis. Armiyadi mendesak pemerintah segera menggelar dialog dengan petani dan pelaku usaha untuk merancang skema perlindungan, seperti subsidi harga atau insentif ekspor ke pasar non-AS.

“Kami butuh kepastian, bukan janji. Jika tidak, kopi Gayo yang selama ini jadi kebanggaan nasional hanya akan menjadi kenangan,” pungkasnya.[]

Editor : Ikbal Fanika
Tutup