Huru Hara PLT Sekda Aceh dan Skandal Maladministrasi
“Sekda adalah pengendali anggaran dan kebijakan teknis. Jika pemegang jabatan ini diangkat secara tidak sah, seluruh tata kelola Aceh rentan dimanipulasi untuk kepentingan segelintir elite.”
INISIATIF.CO – Pengangkatan Alhudri sebagai Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah (PLT Sekda) Aceh yang diwarnai dugaan maladministrasi dan pelanggaran prosedur bukan sekadar hiruk-pikuk politik lokal. Ini adalah ujian nyata bagi prinsip tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel di Aceh.
Namun, dinamika yang terungkap dalam rapat paripurna DPR Aceh dengan agenda pengambilan sumpah dan pelantikan wakil ketua DPRA masa jabatan 2024-2029 justru mengkhawatirkan. Di satu sisi, retorika “solidaritas” dan “menjaga mualem” (pimpinan) dikedepankan, di sisi lain, ada pengakuan implisit bahwa prosedur pengangkatan ini bermasalah.

Sekretaris Daerah (Sekda) adalah jabatan strategis yang pengangkatannya diatur ketat dalam Peraturan Pemerintah No. 18/2016 tentang Perangkat Daerah. Syaratnya jelas, proses seleksi harus melibatkan panitia khusus, memenuhi asas kompetensi, dan mendapat persetujuan Kementerian Dalam Negeri. Jika Alhudri diangkat tanpa melalui tahapan ini, maka terjadi pelanggaran struktural.
Pernyataan anggota DPRA dari Fraksi Demokrat yang menyebut adanya “maladministrasi” mengindikasikan bahwa Gubernur Aceh mungkin telah melangkahi mekanisme ini, entah dengan menunjuk langsung tanpa konsultasi legislatif atau mengabaikan syarat administratif.
Ini bukan soal siapa yang ditunjuk, melainkan bagaimana penunjukan itu dilakukan. Jika prosedur diabaikan, legitimasi kepemimpinan daerah terancam. Aceh, dengan sejarah konflik dan otonomi khusus, seharusnya lebih sensitif terhadap prinsip rule of law.
DPRA bukan sekadar perpanjangan tangan eksekutif, melainkan lembaga pengawas yang wajib memastikan eksekutif bekerja sesuai koridor hukum. Seruan untuk menggunakan RDP atau membentuk Panitia Khusus (Pansus) justru merupakan langkah tepat. Namun, sikap “tidak menyetujui tapi juga tidak menolak” dari pimpinan DPRA mengindikasikan ketakutan politik untuk bersikap tegas. Jika isu ini tidak diusut tuntas, DPR Aceh berisiko menjadi rubber stamp bagi eksekutif, sebuah ironi di tengah maraknya “perang media sosial” yang justru memperlihatkan disharmoni eksekutif-legislatif.
Aceh memiliki UU PA No. 11/2006 yang memberi kewenangan luas untuk mengelola pemerintahan. Namun, otonomi khusus bukanlah lisensi untuk melakukan pelanggaran prosedur. Justru, otonomi harus diimbangi dengan transparansi yang lebih ketat. Jika dugaan maladministrasi dalam kasus ini terbukti, ini bisa menjadi preseden buruk, jabatan strategis bisa diisi berdasarkan kedekatan politik, bukan meritokrasi. Dampaknya? Korupsi sistemik dan degradasi layanan publik. Sekda adalah pengendali anggaran dan kebijakan teknis. Jika pemegang jabatan ini diangkat secara tidak sah, seluruh tata kelola Aceh rentan dimanipulasi untuk kepentingan segelintir elite.
Kita mengapresiasi pernyataan anggota DPRA bahwa investigasi perlu dilakukan agar publik “bisa melihat dengan jelas” adalah pengakuan bahwa transparansi sedang dipertaruhkan. Masyarakat Aceh bukan hanya ingin melihat teater politik tentang solidaritas, tetapi bukti nyata bahwa aspirasi mereka dihormati. Jika eksekutif dan legislatif sibuk berperang di media sosial sambil mengabaikan prosedur, rakyat hanya akan menjadi korban dari ego sektoral.
Aceh tidak boleh kembali ke era di mana kekuasaan absolut merajalela atas nama “stabilitas”. Jika Alhudri memang layak menjadi PLT Sekda, buktikan dengan prosedur yang sah. Jika tidak, pengangkatannya adalah bentuk political betrayal terhadap rakyat Aceh yang telah membayar mahal untuk perdamaian dan demokrasi. [Tim Redaksi].